19. h e a l i n g

335 21 0
                                    

Haiii
Kayak biasa yaa, divote dulu sebelum baca, tinggalin komen juga okee

HaiiiKayak biasa yaa, divote dulu sebelum baca, tinggalin komen juga okee

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jadi lo itu enak banget ya, Bul," gumam Dhira kering. Sepasang netra redup itu menyorot bagaimana lahapnya Bubul menjilat-jilat creamy treats yang ia suapkan.

"Yang lo tau cuman makan, tidur, e*k, kawin kalo nanti udah gede. Lo bakal ninggalin gue juga nggak kalo lo kawin? Soalnya nyokap bokap gue gitu." Sudut bibirnya bergetar menahan ironi. "Atau lo gue steril aja kali, ya, biar nggak usah kawin. Biar lo selalu nemenin gue. Kita hidup berdua aja kali ya, Bul? Gue capek banget sama hidup gue. Kenapa sih, Bul, harus gue yang jadi Dhira? Kenapa gue nggak jadi elo aja? Biar gue disayang juga nih kayak gue sayang sama lo."

"Lo nggak ngapa-ngapain aja banyak yang sayang. Beda kayak gue. Nyokap gue egois. Bokap gue apatis. Anak-anak di sekolah benci banget sama gue. Kita tukeran aja yuk, Bul?"

Bubul tidak lagi tertarik pada snacknya. Ia mematut wajah Dhira dengan mata bulat yang menggemaskan. Seakan peka akan mendung yang menggelayuti perasaan majikannya, kucing berbulu cokelat keemasan tersebut naik ke pangkuan Dhira. Meringkuk dalam pelukan tuannya. Mendusel-dusel di sana membuat Dhira tak tahan untuk mengusap bulu-bulu lembut itu.

Suara deburan ombak di depan mereka melatari suasana. Ditingkahi ocehan-ocehan Dhira yang pengin tukar nasib dengan Bubul. Bubul tidak banyak bertingkah, dia juga tidak tertidur. Anabul itu seolah mendengarkan dengan tekun setiap cerocosan melantur tuannya yang tidak tahu kapan akan selesai.

Satu hal, Dhira hanya sedang berbaik hati pada dirinya. Selama ini Dhira terlalu keras pada diri sendiri. Setiap ada masalah, apa pun itu, Dhira tidak mengizinkan dirinya jadi lemah. Dia telan sendiri setiap kesakitan, kekecewaan, kesepian yang ia rasa dan berusaha tampak biasa saja. Yang ada di pikiran Dhira adalah, dia harus tetap kuat di atas kakinya sendiri. Tidak ada yang bisa dia andalkan selain dirinya.

Dan telepon dari mama kemarin adalah batas toleransi Dhira. Gadis yang mengenakan terusan berwarna hitam sebetis itu sudah tidak sanggup lagi menahan. Untuk itu Dhira izinkan dirinya menampilkan sisi lemahnya. Dia tanggalkan sejenak topeng bodo amat yang biasa dia pakai. Dia takut jadi gila gara-gara masalah hidupnya jika tidak memberikan sedikit kompromi.

Kini hanya ada Andhira Dineschara yang sedang terluka. Remaja tujuh belas tahun berbadan dua yang berusaha mengais sisa kewarasannya. Yang dia punya dalam hidup ini hanya dirinya sendiri. Dan yang dapat mengobati lukanya pun hanya dirinya sendiri. Beruntung pantai yang didatangi sore ini sepi pengunjung. Membuat Dhira makin lega menampilkan sisi melankolisnya.

Dhira mendongak menyaksikan bagaimana nabastala bergradasi dengan sangat indah. Seperti ada tangan yang baru saja melukisnya dengan aneka warna yang kesemuanya sesuai komposisi. Sementara jauh di ujung sana, matahari mulai mendekati garis horizon. Bersiap berganti peran dengan bulan.

Sudut bibir Dhira tertarik tipis. Selama ini tempat pelarian Dhira adalah kelab malam atau arena balap liar. Di sana Dhira tidak pernah merasa kesepian dan sedikit-sedikit lupa dengan problemnya. Namun kini situasinya berbeda. Dhira tidak bisa mendatangi salah satu tempat tersebut. Di sisi lain ia butuh tempat untuk melarikan diri. Sampai kemudian Dhira berakhir duduk di pinggir pantai sambil memangku Bubul. Meski tidak seramai dan seberisik tempat tongkrongannya, di sini Dhira justru merasa nyaman. Suara deburan ombak dan burung camar membuatnya tenang, ringan. Suara-suara mamanya yang sejak kemarin menjajah benaknya menghilang begitu saja.

I'm (not) FineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang