11

40.1K 7K 1.4K
                                    

Sean nggak bisa tidur sampai pagi. Begitu pun gue yang menungguinya duduk melamun di meja makan hingga matahari terbit.

Wajahnya kusut sekali.

Gue yakin, otaknya bekerja dengan sangat keras memikirkan kerugian dan bagaimana caranya mendapatkan kembali uang sebanyak itu.

Pagi ini dia makin rewel saja. To do list buat gue makin banyak. Dari memberi makan Snelly dan Prilly, sampai menyiangi tanaman hias di belakang rumah.

Pekerjaan gue akan gue kerjaan setelah tidur rencananya. Namun rencana membayar hutang tidur gue gagal. Oma dan Paman Sean datang.

"Oma?" Gue membuka pintu dengan wajah kaget.

Tanpa dipersilakan masuk Oma langsung masuk dan duduk dengan angkuhnya di sofa ruang tamu.

"Aku bikinin minum dulu ya," pamit gue sopan.

Tak lama gue mendengar suara Sean marah-marah. Ada apa lagi ini?

Ini baru jam sepuluh, dan Sean tadi ada urusan di kantor polisi sekitar jam delapan. Kemungkinan Sean belum sempat ke tempat kerja.

Tunggu... Sejak kapan Sean memiliki tempat kerja yang pasti?

Otak gue sibuk membuka memori. Kemudian muncul sebuah jawaban.

Sejak empat bulan yang lalu. Sean mulai sibuk dengan agen property yang dia bangun bersama teman-temannya. Sejak saat itu dia lebih sering pergi ke kantor agen property daripada menghabiskan waktu untuk memberiksa toko-tokonya.

Kalau ke peternakan buaya menurut gue masih terbilang sering. Dia bisa seminggu tiga kali pergi ke peternakan. Mungkin karena Sean suka dengan buaya, jadi sempat nggak sempat harus di sempatkan.

Gue membawa nampan berisi teh untuk Oma dan Paman Sean. Ketika berjalan mendekat, tentu saja gue mendengar apa yang mereka bicarakan.

"Prospek ini lebih bagus daripada usaha property kamu. Kamu pelajari dulu grafiknya. Ini sama sekali nggak riskan." Paman Sean terlihat menjelaskan.

"Nggak bisa sekarang. Aku harus fokus sama perusahaanku dan temen-temenku."

"Kamu lost 17 milyar. Nutupnya lama," Oma mengingatkan tentang kerugian Sean.

"Suntikan gampang. Nanti Suaminya Franklin siap. Asal kamu mau maju," bujuk Paman Sean.

"Ini tehnya." Gue menggeser teh untuk kedua tamu itu kemudian segera pamit ke belakang.

Setelah beberapa menit berlalu, Sean menghampiri gue dengan wajah kusutnya.

"Kopi," katanya sambil menarik kursi di meja makan.

Gue segera bangkit dan membuatkan kopi untuk Sean.

"Ka," panggilnya saat gue sedang menuangkan air panas ke dalam cangkir.

"Apa?"

"Gue pusing," curhatnya.

Gue menarik napas dalam-dalam lalu mendekat ke Sean dengan secangkir kopi untuknya.

"Siapa yang nggak pusing sih habis kehilangan uang belasan milyar?" tanya gue.

Ya pasti pusing. Tapi itu kan pusingmu bukan pusingku, Yan.

"Kerjasamaku sama peternakan di Australi expired minggu ini. Mereka nggak mau perpanjangan karena kualitas kulit buaya yang ada di peternakan nggak sesuai standar mereka," terangnya.

"Aku harus bantu gimana, Yan? Aku nggak bisa apa-apa. Aku nggak paham apa-apa."

Sean mengelengkan kepalanya lalu menatap gue lurus. "No need to do anything," katanya yang kemudian mengalihkan pandangan matanya.

Marvelous HubbyDonde viven las historias. Descúbrelo ahora