21. Rafiq itu Penting

7.9K 906 28
                                    

"Papa, Mama!"

Semua orang yang berada dalam ruangan itu menoleh ke arah pintu yang terbuka dengan seorang pria yang sedang mengatur nafasnya. Pria itu terlihat sangat kecapean, mungkin karena ia berlari sepanjang koridor.

"Dari mana aja lo?" suara dingin itu menyapa pendengaran semua orang.

Kayvan berjalan menghampiri sahabatnya yang berada di dekat ranjang rumah sakit. Tak lupa dengan seseorang yang terbaring di sana.

"Fiq, gimana keadaan lo?" tanya Kayvan seraya memperhatikan tubuh Rafiq dengan intens.

Rafiq menggelengkan kepala, dia tidak kenapa-napa, bahkan tidak ada luka apapun di tubuhnya. Yang terluka hatinya, batinnya. Bukan raganya.

"Baik," jawab Rafiq seadanya.

"Kay, Fin, Bang, Papa sama Mama keluar dulu, kami mau cari makanan. Nanti kami kesini lagi." Ibu dari Rafiq tersenyum lembut ke arah tiga remaja di sana.

"Iya, Kay mau cheesecake, ya, Ma?" Tidak tahu malu sekali Kayvan ini.

Lina (Ibu Reno) terkekeh kemudian mengangguk. Dia melirik Kafin, "Mau makan apa, Fin?"

"Apa aja terserah Mama,"

"Abang, mau makan apa, Sayang?"

"Apapun asal jangan yang berbau keju. Gak enak."

Kayvan melotot, "Ih, keju enak tahu!"

"Gak enak!"

"Enak!"

"Asin, gak enak!"

Kedua orang tua Rafiq menggelengkan kepalanya, mereka memilih untuk meninggalkan perdebatan itu. Sedangkan Kafin, ia memilih untuk menyumpal mulut Kayvan dengan sebuah tisu. Kayvan berhenti bicara, dia menatap Kafin sengit.

"Apa sih, Fin?" ketusnya.

Kafin memutar bola matanya malas, dia melirik Rafiq. Rafiq terlihat melamun, tuh kan baru saja berdebat dengan Kayvan, pria itu sudah melamun. Sangat membahayakan.

"Fiq," Kafin memukul pelan bahu Rafiq.

Rafiq mengerjap, dia menatap lurus ke depan kemudian berkata. "Kenapa gue lahir? Harusnya gue udah mati dari dulu. Kenapa sekarang masih hidup?"

Kayvan maupun Kafin terpaku, mereka saling tatap kemudian diam menunggu perkataan selanjutnya yang akan keluar dari mulut sahabatnya.

"Gue rasa, semua yang gue lakuin selalu salah. Gue rasa, hidup gue gak ada artinya di mata mereka. Gue mau hidup nyaman, gue mau cuma ada gue, mama, papa, sama adek. Gue gak mau ada mereka..." Rafiq memejamkan matanya, terlihat sekali pria itu kelelahan.

Kayvan menghela nafas, ia tidak dapat menyembunyikan rasa sakitnya saat mendengar sahabatnya berkata demikian. Sungguh, Kayvan tidak ikhlas melihat sahabatnya menanggung beban seberat ini.

"Capek. Rasanya capek." Air mata Rafiq menetes tanpa permisi, pria itu terisak pilu membuat Kayvan dan Kafin terhenyak. Mereka saling memalingkan wajah. Mencoba menahan air mata yang akan ikut menetes. Mereka harus menahannya untuk Rafiq.

"Van, Fin, jangan tinggalin Afiq, ya? Afiq gak kuat."

Sial! Kayvan tak kuasa, ia berbalik kemudian memeluk Rafiq erat. Rafiq menangis di ceruk leher Kayvan. Sebut saja dia lemah. Dia tidak peduli lagi. Saat ini dia hanya ingin pelukan dan ketenangan.

"Afiq anak h-haram katanya, Afiq... Afiq pembawa sial. Afiq harus mati katanya. Afiq--"

"Sttt... Berisik Fiq!!" Kafin memukul dinding ruangan itu keras. Bisa tidak Rafiq jangan mengucapkan itu? Hatinya sakit.

KAYVANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang