Part 32

26 9 0
                                    

-Irene POV-

Saat aku membuka mata, yang kulihat adalah langit-langit berwarna putih.

Aku menurunkan pandangan tanpa menggerakkan leher. Tidak pelak lagi, aku ada di rumah sakit. Aku bisa melihat slang-slang terpasang di tubuhku, sementara napasku terdengar keras di telingaku lantaran dipasangi masker sebagai alat bantu pernapasan.

"Irene-ah? Kau sudah sadar?"

Aku berusaha menoleh, tapi ternyata aku bahkan tidak punya tenaga untuk itu. tapi tidak apa-apa, aku tahu itu suara ibuku. Aku bisa merasakan tangannya menggenggam lembut tanganku, sementara ayahku sudah berkelebat menyebrangi kamar sambil berteriak-teriak memanggil perawat. Ayahku memang tidak sabaran. Padahal setahuku ada tombol untuk memanggil perawat. Pasti ayah sudah tidak sabar menunggu kedatangan perawat, itu sebabnya ayah membuat kehebohan.

Dan upayanya tidak sia-sia. Dalam sekejap aku sudah dikelilingi dokter dan perawat yang memeriksa tanda-tanda vitalku.

"Selamat," pria berjas putih yang tentunya adalah dokter berkata dengan suara penuh keyakinan, "Anda akan baik-baik saja."

Terima kasih, Tuhan.

***

"Kau sudah sadar?"

Aku menyipit ketika melihat Seokjin datang dan menahan lenganku, saat berusaha menegakkan punggung di ranjang. "Kau sudah pulang?" tanyaku sambil memperhatikan keadaan di sekitar, lalu berpaling menatapnya. "Bagaimana pekerjaanmu di Jepang?"

"Sudah selesai," tutur Seokjin sambil menyodorkan air. "Sini, biar kubantu," melihat tanganku gemetaran, dia memegangi gelas agar aku bisa meneguk air sedikit demi sedikit.

"Terima kasih."

"Merasa lebih baik sekarang?"

Aku mengangguk lemah.

Aku melihat Seokjin merebahkan diri di sofa, lalu menggeleng-geleng. "Sepertinya aku benar-benar merepotkanmu. Maaf."

"Tak masalah, kau memang selalu merepotkan," sahut pemuda itu masa bodo.

Sadar tidak memiliki cukup tenaga untuk berdebat dengan Seokjin, aku memutuskan diam.

"Kalau ada sesuatu yang ingin kau ceritakan padaku, katakanlah. Aku akan mendengarkanmu," tutur Seokjin berbicara sambil memejam.

Aku menatap pemuda itu sekilas, kemudian menggeleng. "Tidak ada. Tidak ada apa-apa," sahutnya sambil tersenyum masam.

***

-Auhtor POV-

"Eonni, bagaimana tidurmu semalam?" Jisoo meletakkan piring berisi roti sambil duduk di sebelah Irene. Seolah tidak ingin menunggu jawabannya, dia menggerakkan tangannya untuk menyentuh kening Irene.

"Eonni masih demam."

"Aku sudah tidak apa-apa," sahut Irene datar, mengangkat gelas susu dan menenangkan diri.

"Eonni, apa kau... sudah tahu kondisi mu yang sebenarnya?" tanya Jisoo ragu-ragu tanpa melihat Irene.

"Aku tahu, aku tidak bisa hamil." Gumam Irene tanpa sadar.

"Eonni, dari mana kau mengetahuinya?, setahuku seluruh keluarga merahasiakan ini darimu."

"Suho yang mengatakannya," jawab Irene ringan.

"Apa?" Jisoo tertawa datar, langsung menoleh. Bahkan suho pun belum menjenguknya, pikir Jisoo. Dia tidak menduga Irene mengatakan hal semacam itu. sepertinya kecelakaan itu membuat otaknya cedera.

"Ayolah, eonni jangan bercanda. Bahkan Suho oppa belum menjengukmu, bagaimana dia bisa mengatakannya." Ujar Jisoo sambil memaksakan tawanya.

"Tidak seperti itu, dia benar-benar datang dan dia mengatakan semuanya padaku."

"Tapi, bagaimana mungkin eonni? Kalau Suho oppa datang pasti aku mengetahuinya, karena aku setiap hari kemari." Tanya Jisoo semakin heran.

"Aku memang bertemu dengannya, aku tidak berbohong. Bahkan dia orang pertama yang aku temui sebelum aku membuka mata. Lihat saja, saat kau mulai mencintainya seperti diriku maka kau juga bisa menemuinya kapan saja, jarak diantara kalian berdua tidak akan penting, yang penting adalah Suho bisa dekat dengan hatimu," Irene terdiam sejenak, lalu melanjutkan. "Percayalah padaku, bahwa suatu hari nanti kau dan Suho bisa saling bertemu kapan saja."

"Baiklah, sepertinya aku harus pergi sekarang. Kuliahku dimulai pukul Sembilan," kata Jisoo lalu bangkit, meninggalkan kamar rawat Irene.

TBC

Jamais Vu✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang