Part 2 (SEASON 2)

44 5 0
                                    

Tokyo, Japan 2031

-Author POV-

Maeumi yeppeun sarami dwelkeyo

Nameul meonji saenggakhanenun saram dwelkeyo

Eommaui sarangui baraemdeureul jikyeogalkeyo

Nawa kkumeul hamkke nanudeon

Nae meoreun bitgyeojudeon emmaga saenggakna

Lirik lagu tersebut selalu dinyanyikan Chenle setiap kali ia merindukan sosok 'malaikat tak bersayapnya'. Ibu yang tak pernah didengar lagi sapaannya. Ibu yang tak pernah lagi ia lihat senyum di wajahnya. Ibu yang tak pernah dapat ia peluk kembali. Ibu yang tak pernah menjadi teman ceritanya kembali.

Kejadian tersebut terjadi ketika Chenle berusia dua tahun. Keluarga Chenle hidup dengan harmonis dan bahagia. Kala itu, Chenle baru dapat berjalan. Ibu yang selalu merawatnya dengan penuh kasih sayang. Memandikannya, menyuapinya ketika makan, mengganti popoknya ketika basah, menyanyikannya sebelum tidur. Kegiatan tersebut selalu dilakukan oleh ibu Chenle. Namun sayang, dia hanya bisa mendengarkan cerita tersebut hanya lewat neneknya.

Pada saat berusia lima tahun, ibu Chenle meninggal dunia. Chenle menjadi anak piatu tanpa seorang ibu. Kini, Chenle hanya tinggal bertiga dengan neneknya dan sosok seorang ayah yang tak pernah berhenti berjuang untuk dirinya. Setiap kali malam tiba, Chenle duduk berdua dengan ayahnya.

"Appa, wajah eomma dulu seperti apa?" tanya Chenle dengan penasaran.

"Ibumu dulu sosok wanita yang baik, perhatian, lemah lembut dan penuh kasih sayang. Ibumu juga cantik nak," jawab ayahnya.

Sepuluh tahun tanpa seorang ibu, Chenle menjadi sosok yang kuat dengan dukungan nenek dan ayah yang tak henti-hentinya berusaha membesarkan dan memenuhi segala kebutuhannya. Kini, Chenle berusia 15 tahun dan sekarang Chenle sudah memasuki masa remaja. Chenle tumbuh seperti anak pada umumnya.

Hari ini adalah pengumuman kenaikan kelas. Chenle mendapatkan juara 1 di kelas. Betapa senangnya hati Chenle. Ia segera bergegas menuju ke rumah.

"Appa, appa, appa!" panggil Chenle dengan tergesa-gesa.

"Iya, Chenle, ada apa?" kenapa tergesa-gesa seperti itu?" tanya ayahnya dengan heran. Chenle langsung memeluk ayahnya dengan sangat erat dan memberitahu kepada ayahnya bahwa ia mendapat juara 1 di kelas.

"Appa, aku mendapat juara 1, ini semua berkat dukungan dari Appa dan Halmonie, terima kasih Appa," kata Chenle dengan berderaikan air mata "Selamat nak, Appa bangga padamu," jawab ayah. Saat itu, suasana menjadi penuh dengan air mata kebahagiaan.

"Andai saja aku memiliki seorang eomma, pasti eomma sangat senang melihatku mendapatkan juara," kata Chenle dalam hati.

***

-Suho POV-

"Appa..." ujar anakku Chenle sambil duduk di sampingku. "Appa bisa main gitar?"

Aku menurunkan Koran yang sedang kubaca dan mengalihkan pandanganku. "Memangnya kenapa?"

"Tadi di sekolah ada temanku yang bawa gitar, terus dia bisa memainkannya.." Chenle menjawab setengah merajuk dengan raut muka iri. "Katanya dia diajarkan sama ayahnya. Appa juga ajari aku ya!"

"Kamu yakin, mau belajar gitar?" tanyaku mengetes kesungguhannya.

Anakku yang baru berumur 15 tahun itu mengangguk kuat-kuat.

"Yasudah, kalau gitu bantu ayah ambil gitar di gudang," putusku.

Gitar itu sudah tua dan berdebu. Dalam hati aku menyesal, kenapa tidak dari dulu kuambil gitar itu dari gudang. Kulap dan kubersihkan sebisaku, lalu kucoba memetik senarnya. Chenle melotot penuh gairah di depanku.

Suaranya masih jernih, setemannya pun masih benar. Padahal sudah tujuh belas tahun lebih mendekam di gudang.

Aku berdeham dan mencoba memainkan satu lagu. Lagu yang pernah populer di masa mudaku dulu.

Lagu  membawa ingatanku ke tujuh belas tahun lalu. Dapat kudengar jelas suaranya, seakan dia berdiri di sebelahku saat itu.

"Suho-ssi!" Suara riang gadis itu. menyapaku dengan teriakan khasnya yang tanpa beban.

Irene.

***

FLASHBACK ON

2014

Pagi-pagi benar Irene sudah datang ke apartemenku sambil menggendong bungkusan yang sangat besar. Persis seperti peti mati.

"Siapa yang kau bunuh?" ujarku kaget.

"Sial! Tidak usah berisik, cepat buka!" Irene tersenyum luar biasa lebar.

Aku membuka bungkusan itu cepat. "Wow!!" aku menjerit sekuat tenaga melihat isinya. Dengan girang aku berdiri "Daebak, Irene-ssi, keren sekali!!"

"Di rawat ya, Suho-ssi!" ancam Irene sebelum pamit pulang. "Aku tidak jajan tiga bulan karena gitar itu!"

"Pasti, akan ku jaga sampai mati!" sumpahku tanpa pikir panjang. Aku sibuk memainkannya tak jelas. "Bagaimana aku membalasnya?" tanyaku saat mengantarnya ke lobby.

"Tidak perlu... kau sudah sering membantuku" gumam Irene pelan sedikit tertunduk. "Aku tulus memberikannya."

"Kau masih mencintai gadis yang waktu itu kau ceritakan padaku?" tanyanya tiba-tiba.

Aku mendongak kaget mendengar pertanyaannya. "Masih!"

"Lalu, kenapa kau tidak mencoba mendapatkannya?"

"Deepest desireku adalah melihat orang yang aku cintai bahagia. Dan kupikir dia takkan bahagia bersamaku..."

"Kenapa?"

"Yaa.. dia mungkin tidak bisa bersamaku. Lagipula dia sudah memiliki seseorang yang sempurna untuknya. Sedangkan aku? Aku hanya punya cinta..." sambil berkata begitu aku pergi meninggalkannya.

FLASHBACK OFF

***

"Appa? Kenapa menangis?" Chenle menatapku dengan mata membulat. "Gitar itu dari sahabat Appa ya?"

Tanpa sadar aku mengangguk.

"Pasti dia sangat menyayangimu Appa."

Ucapan polos itu mengingatkanku akan besarnya cinta Irene, walau itu satu-satunya yang dimilikinya.

Mengapa dia pergi meninggalkanku? Begitu banyak bintang di langitnya, tapi tak satu pun sempat untuk diraihnya. Dan kini bintang itu telah berselimut debu karena terlupakan begitu saja. Irene, andai saja...

Aku menghapus air mata dengan punggung tanganku. Kutelan isakan terakhirku. "Mau Appa ceritakan tentang sahabat Appa yang memberikan gitar ini?"

"Namanya Bae Irene..." dan aku pun bercerita, tentang seorang gadis yang berusaha menggapai bintang dengan cintanya yang tulus.

TBC

Cast:

Chenle

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Chenle

Jamais Vu✅Where stories live. Discover now