#5

74 4 0
                                    

Jakarta, Indonesia.

Samar-samar terdengar suara alat medis memecah keheningan malam. Di dalam sebuah ruangan yang begitu besar, nampak seorang pria tengah duduk seraya terus memandangi wajah sendu seorang wanita di hadapannya yang tengah terbaring di atas sebuah brankar dengan mata tertutup.

Tangannya tak henti-hentinya menggenggam erat tangan wanita di hadapannya seraya tangan lainnya dia gunakan mengusap-usap puncak kepala wanita tersebut.

"segitu bencinya kah kamu terhadapku, sayang? Hingga kau pergi dihari pertunangan kita? Aku tahu jika kamu terpaksa dengan ini semua, tapi aku benar-benar tulus sayang sama kamu. aku sangat sayang sama kamu, Nis." tanpa sadar, buliran-buliran bening jatuh membasahi pipinya.

"jika memang kamu belum bisa mencintaiku Nis, setidaknya jangan membenciku. Aku tidak ingin kehilanganmu, aku tak bisa hidup tanpamu." Gumamnya lirih seraya mengusap air mata yang jatuh tanpa permisi.

Sementara itu, di ruangan yang berbeda, nampak seorang pria yang masih tak sadarkan diri tengah terbaring dengan wajah pucat.

Tubuhnya yang dipenuhi dengan alat medis menandakan lukanya begitu parah, beberapa pria kekar tengah mengawasinya hingga di luar ruangan.

"bagaimana keadaan putriku, Arka?" suara berat Brawijaya membuyarkan lamunan Arka yang tengah duduk memandangi wajah tunangannya.

"setelah sadarkan diri sore tadi, dokter memberikan resep obat tidur untuk menenangkannya dengan membuatnya tertidur. Karena setelah pemeriksaan rupanya Nisa menderita susah tidur sejak lama, mungkin ini adalah akibat dari rasa trauma yang pernah dialaminya." Brawijaya hanya tertegun mendengar penjelasan Arka.
Dia berjalan ke sofa panjang yang tak jauh dari tempat tidur Nisayang diikuti oleh Arka, mereka berdua duduk di sofa seraya terus memantau Nisa di hadapannya.

"rupanya kamu kembali dengan kondisimu seperti dua tahun yang lalu Nis, maafkan papa. Karena papa, kamu harus menanggung ini semua sendirian." Gumam Brawijaya seraya menatap wajah putrinya yang tengah terlelap.

"bagaimana keadaan mas Debran dan Revan?" mendengar nama Revan, tiba-tiba Nisa secara perlahan membuka matanya. Rupanya dia telah terbangun sebelum ayahnya masuk ke dalam ruangannya, namun tak disadari oleh Arka dan Brawijaya, rupanya Nisa hanya pura-pura tertidur.

"hingga saat ini, Revan masih koma." Dada Nisa seketika sesak, dia merasakan rasa sakit yang begitu hebat menghantamnya saat mendengar pembicaraan ayahnya dengan Arka yang menyebutkan jika sahabat kecilnya tengah koma.

Pelupuk matanya dipenuhi dengan air mata yang kapan pun dapat tumpah, namun dia berusaha untuk menahannya.

"kata dokter, sangat kecil kemungkinan baginya untuk dapat bertahan. Hanya alat medis yang kini membuatnya masih hidup." Brawijaya menghela nafasnya.

"tapi aku pastikan, Revan tidak akan pernah lagi bisa bertemu dengan putriku, aku akan mengirimnya ke luar negeri untuk pengobatan dan memastikan dia tidak akan pernah kembali ke kota ini lagi. Aku masih tidak bisa memaafkan tindakannya yang hampir membuatku kehilangan putriku."

"prangggg..." Suara bantingan vas Bunga di lantai membuat percakapan Arka dan Brawijaya terhenti.

Mereka berdua berlari menghampiri Nisa yang tengah terduduk di atas brankar dengan kedua tangannya dia gunakan menutup telinganya. Dia sudah tak sanggup mendengar ucapan papanya. Hingga tangannya tak sengaja menyenggol sebuah vas bunga kaca yang berada di atas nakas tepat disampingnya.

Mendengar suara kegaduhan dari dalam ruangan, puluhan pria yang berpakaian jas serba hitam berlari masuk ke dalam ruangan untuk melihat apa yang telah terjadi.

Serpihan Cinta Dalam HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang