3. Luck

75 22 53
                                    

Tidak ada cahaya lain selain lampu belajar yang dibiarkan menyala. Jam meja menunjuk angka 10 malam, dan bagusnya Zeevaya masih berkutat di depan bukunya. Secara bergantian, ia membaca lalu menulis rangkuman. Rambut panjangnya ia gulung ke atas, untuk memudahkannya belajar. Seperti gadis lainnya Ketika di rumah, Zeevaya mengenakan kaos oblong dan celana pendek. Tidak lupa, ia menyumpalkan headset di kedua telinganya.

Di tengah-tengah belajarnya, perutnya melilit, tampak kelaparan, gadis itu berlari ke dapurnya. Mencari sesuatu di lemari es; sosis, telur, dan nasi di magic com, lalu mengolahnya menjadi nasi goreng. Dapur Zeevaya tidak terlalu besar, tapi bagus. Ada microwave di deretan kitchen set-nya, duduk manis dengan tempat spatula dan sendok sayur. Di sebelah kanannya, ada kompor listrik dengan sensor sentuh yang bersih. Kemudian meja makan kayu yang mengesankan sederhana dan minimalis berada di tengah-tengah dapur.

Nasi goreng dengan telur orak-arik dan potongan sosis andalannya itu sudah bertengger di meja makannya sekarang. Meskipun lapar, bukannya lahap gadis itu justru sibuk melamun. Menatap apa-apa yang tampak kosong di hadapannya. Toples kerupuk, teko air putih, saos tomat yang sekarat, dan kursi. Sudah itu saja, selebihnya adalah hati yang hampa.

Zeevaya tinggal dengan mamanya, tapi ia merasa hidup sendirian. Oke! memikirkan mamanya jelas membuatnya makin hampa, jadi gadis itu mengalihkannya cepat. Mengambil botol saos, memencetnya keras meskipun yang keluar tinggal sedikit, malahap nasi goreng, menuang air putih dari teko ke gelasnya dan meminumnya dengan sekali tegukan. Membereskan dan mencuci piringnya, lalu melesat kembali ke kamarnya. Secepat itu.

Memang, tidak ada istilah keberuntungan dalam hal takdir, tapi Zeevaya tetap mengandalkannya. Jika bukan beruntung, lantas apa namanya? Zeevaya masih belajar dengan normal—mirip siswa lainnya, kendati sudah 4x pindah sekolah. Cukup berkesan untuk perkenalannya tadi. Ada sambutan gila dari seekor Darren, serigala dengan taring sok garang-nya.

Sebenarnya terdengar naif Ketika Zeevaya menganggap beruntung di hari pertamanya di sekolah. Pasti akan ada hari 'wah' berikutnya yang anehnya melebihi pertemuannya dengan Darren. Tapi jelas, Zeevaya tidak menunggunya. Ia hanya selalu berharap untuk hari bahagia tentu saja. Kalau terlalu jauh, Zeevaya cukup berharap pada yang baik. Jika dirasa masih juga terlalu jauh, lagi-lagi Zeevaya mengandalkan keberuntungannya.

Tapi pesan di instagramnya tadi siang masih mengisi pikiran Zeevaya.

'Aku tahu siapa kamu.'

Itu bukan sekedar pemberitahuan, itu jelas ancaman.

Ketika gadis itu mencoba untuk mencari tahu profil si pengirim, ia makin berdegup kencang. Lantaran itu bukan akun pribadi perorangan. Itu adalah akun populer di sekolahnya yang sekarang. @anakharnuskeren, jelas itu singkatan untuk nama sekolahnya, harapan nusantara. Pengikutnya 4.000 lebih. Meskipun kemungkinan itu dipegang oleh satu orang.

Tidak ada yang bisa ia lakukan sekarang selain berdiam diri. Menyaksikan pesan pribadi tersebut tanpa membalas dan bereaksi apapun. Jelas itu permulaan yang amat-amat buruk, kendati ia tetap percaya pada keberuntungannya.

Pukul 11 malam lewat, Zeevaya menutup bukunya. Sekarang waktunya melakukan rutinitas uniknya—bicara empat mata dengan sebuah foto di mejanya. Hanya melihatnya saja, Zeevaya bisa merasakan apa-apa yang indah saat foto itu diambil. Pagi sebelum berangkat, gadis kecil dalam foto itu dan papanya sibuk bermain air meskipun niat awalnya memang mencuci mobil. Zeevaya kecil mogok mandi, jadi papanya membujuknya untuk ikut bermain air. Sementara mamanya memasak bersama Mbak Lela, asisten rumah tangga keluarga Zeevaya.

Meskipun harus ada adegan Zeevaya kecil dan Papanya berlarian mengelilingi rumah, jadwal piknik hari itu tidak mundur. Mereka berempat berangkat pukul 8.30 pagi. Mobil berukuran lumayan besar itu rasa-rasanya jadi sempit karena kaki Zeevaya tidak berhenti bergerak, sibuk konser dengan jepit rambut Mbak Lela sebagai mikrofon.

"Hai terima kasih ya," Zeevaya bicara pada fotonya sendiri.

"Kalau kamu nggak mogok mandi waktu itu kamu bakal nggak tahu rasanya menyiram air ke tubuh papa. Lalu kamu jadi nggak tahu ketawanya papa sambil teriak-teriak namamu. Doakan besok, eh lusa atau tahun depan aku bisa lihat papa ketawa lagi. Oh iya Mbak Lela gimana kabarnya ya? Dia sudah menikah belum ya? Kasihan ya Mbak Lela ya tiap hari dengar suara berisikmu yang ngakunya konser dengan panggung megah padahal cuma lantai marmer yang sedikit basah."

Zeevaya mengambil napas besar dan mengeluarkannya pelan. "Banyak banget yang berubah sekarang. Aku lebih nyaman di petak seukuran ini. Aku nggak bisa lagi ngebayangin lantai rumah jadi panggung megah meskipun aku masih punya lantai yang sama. 

Nggak apa-apa ya?" Diletakkannya foto itu di meja, kemudian ia melepas gulungan rambutnya. Meletakkan headset pada tas yang tergantung di atas meja belajarnya. Mematikan laptop dan lampu belajar lanjut merebahkan tubuhnya di kasur. 

"Finish. Kita akhiri hari ini. Besok akan lebih baik," ujarnya sambil menatap langit-langit kamarnya.

***

Tidak ada yang membuatnya takut selain takdir. Tidak ada yang menghalangi langkahnya selain takdir. Selama ia berani, ia tidak akan menundanya untuk melakukannya. Tapi kenyataannya, memang terlalu banyak takdir yang tak bisa ditentang. Menyedihkan. Zeevaya menganggap, takdir juga yang membawanya, eh melemparnya, ke sekolah barunya kini.

Karena itu, janjinya pada diri sendiri untuk tidak terlibat kekacauan sekolah itu ia pegang terus. Setidaknya hingga hari ini—hari ke-2 di sekolah. Alasannya adalah, ia tidak ingin disorot. Tidak ingin dikenal banyak siswa di sini.

Tapi sepertinya ia salah duga. Ia sudah disorot, oleh akun Instagram yang tidak bisa diremehkan Zeevaya. Diam-diam dia harus mencari tahu siapa pemiliknya.

Meski otaknya dipenuhi tentang itu, gadis itu masih bisa menutupi kekhawatirannya sekarang.

"I need somebody who can love me at my wosrt!" Zeevaya melantunkan dengan suara kecil lagu milik Pink Sweats itu sambil melangkah bahagia. Seolah-olah pagi itu sempurna untuk berangkat sekolah. Sepanjang koridor ramai. Dia heran, masih ada siswa yang berkejaran di usia SMA. Seharusnya memang masih ada, Zeevaya saja yang menganggapnya itu aneh, kekanakan.

Langkah kakinya terhenti di depan kelasnya. Langkah yang semalam sempat dibayangkan Zeevaya sebagai langkah keberuntungan itu terlihat malas sekarang setelah melihat adegan di depannya. Ini jauh lebih kekanakan daripada siswa yang saling berkejaran di koridor tadi. 

***

Blue DaysWhere stories live. Discover now