4. Bullying

79 18 92
                                    

Seperti dugaan Zeevaya, Darren tidak normal. Ia merundung siswa.

Tidak mudah bagi Zeevaya melihat pemandangan itu. Kita sama-sama siswa di sini, tidak bisakah bersekolah tanpa membuat keributan. Duduk di bangku dan belajar dengan tenang, batin Zeevaya. Baginya, itu mempermudah pekerjaan guru, tentu saja mempermudah takdir juga.

Apa susahnya menjadi diam dan tidak mengganggu yang lain?

Zeevaya heran, kenapa selalu ada manusia semacam Darren berkeliaran di sekolah. Bayangkan saja jika di sekolah hanya ada siswa penurut yang rajin, walaupun tidak pintar setidaknya tidak membuat kekacauan. Bukankah itu jauh lebih menenangkan? Apa yang dicari sebenarnya?

Siswa berambut cepak yang bangkunya di dekat pintu itu tampak gemetar ketika Darren mengangkat dasinya. Tadinya Zeevaya ingin melewatinya, sebelum suara gebrakan bangku terdengar kemudian.

"Cih dia hobi sekali menggebrak bangku?" lirih Zeevaya sambil melirik dari tempatnya berdiri, malas. Belum apa-apa hari ke-2nya sudah keruh. Tersangkanya masih sama.

"Pulang sekolah ikut aku!" Teriak Darren yang sama sekali tidak menjadi perhatian kelas. Mungkin saking seringnya membuat keributan.

"K-ke mana?" tanya siswa berambut cepak tersebut.

"Pokoknya ikuti aku!" bentak Darren.

"T-tapi..."

Zeevaya melirik, tangan siswa itu bertaut dan bergetar.

"Brakkk!" Darren menggebrak lagi! Lama-lama kaki Zeevaya belok ke Daren. Untungnya ia masih tahan. Kelakuannya luar biasa gila.

"Tidak ada kata tapi!" Kali ini Darren bicara pelan, tapi ia merendahkan wajahnya dan menemukan masih mata siswa yang dibentaknya. Bukannya memukul wajah Darren, siswa itu justru makin mundur dan menunduk lebih dalam.

"Eh itu padahal posisi Darren sudah siap dipukul! Dia mundur?" Tanpa sadar pertanyaan itu meluncur ke udara, dan di dengar oleh siswa-siswa yang baru melewati Zeevaya. Spontan lirikan tajam kini menatap gadis itu semua. Untungnya Darren tidak dengar.

"B-baiklah aku akan ikut!" Kata siswa itu akhirnya. Diikuti isyarat jempol dari Darren dan pergi.

Begitu Darren berjalan ke bangkunya Zeevaya mendekati siswa berambut cepak tersebut, "Namamu siapa?" tanyanya.

"Jeje!"

"Oh. Oke."

"Kenapa?"

"Ingin tahu saja." jawabnya enteng, dibalas dengan lirikan bingung siswa bernama Jeje tersebut.

Sekarang langkah Zeevaya mengarah ke bangkunya, karena lima menit lagi pelajaran dimulai.

Tapi sepertinya dugaannya semenit lalu salah. Tadi Darren tidak jalan ke bangkunya sendiri, melainkan duduk di meja Zeevaya sambil bermain ponsel dengan kaki terayun. Zeevaya tidak peduli; berusaha tetap tenang dan duduk. Bertingkah seolah-olah Darren tidak ada di sana, mengenyahkan segala tingkah kekanakannya.

Tapi sebenarnya, Zeevaya tidak benar-benar bisa mengacuhkannya. Setidaknya ia harus mempersiapkan jantungnya kalau-kalau manusia gila itu menggebrak bangku lagi. Tidak lucu juga kalau tiba-tiba dia terjungkal ke belakang hanya karena kaget. Atau tiba-tiba tanpa sengaja sifat latah muncul di diri Zeevaya dan gadis itu menggebrak balik meja. Bukan, bukan. Pilihan yang terakhir hanya halusinasi Zeevaya saja.

Sekarang kembali ke Darren. Ini sudah lewat 2 menit, dan dia belum mengatakan apapun atau setidaknya minggir. Apa jurus mengacuhkannya tidak berhasil? Bukannya minggir, Darren justru meletakkan ponselnya dan menatap Zeevaya.

Blue DaysUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum