4. Hidup Tapi Mati, Mati Tapi Tidak

60.2K 6.9K 104
                                    

"Ada apa Tam?" Tanya Luna saat mendapati raut tidak nyaman di wajah Tami.

"Lun, ada sesuatu yang harus gue bicarakan. Tapi sebelum itu, gue perlu minta maaf karna mau nggak mau, lo harus terseret ke persoalan ini." Luna mengernyit.

"Maksud lo?"

"Pesanan katering yang hampir lo tolak beberapa hari lalu, udah selesai kita kerjakan." Ujar perempuan itu.

"Terus masalahnya apa?" Sela Luna.

"Ada komplain dari pihak mereka. Katanya apa yang kita buat nggak sesuai sama yang dipesan."

"Apa?" Ucapan Tami sontak membuat Luna terkejut.

"Kenapa bisa begitu? Lo udah atur semua dengan baik kan?"

"Udah Lun, sumpah. Bahkan kita kasih lebih dari yang mereka mau. Semua menu sesuai dengan yang tertulis di berkas kemarin, kok."

"Cita rasa masakannya juga pas dan enak, lo tahu sendiri chef kita nggak mungkin sembarangan dalam memasak." Tami mengusap pelipisnya yang berkeringat.

"Gue juga bingung kenapa ada komplain semacam itu." Desahnya.

Luna susah payah menelan ludah. Firasatnya mendadak tidak baik, mengingat pemesan keteringnya adalah pihak yang selama ini ia hindari, bisa jadi mereka sengaja membuat masalah.

"Selain komplain, mereka minta apa lagi?"

"Pihak sana minta uangnya dikembalikan sebagai ganti rugi dari kekecewaan mereka."

"Gila!"

"Lun, bukan maksud gue mau ungkit-ungkit ini. Tapi kayanya mereka sengaja bikin ulah. Atau jangan-jangan ada permasalahan pribadi sampai mereka melakukan ini."

Luna meremas rambutnya frustasi.

"Oke lo tenang aja, urus semua kompensasi yang mereka minta. Nanti biar gue yang tanggung kerugiannya." Putus Luna kemudian, perempuan itu juga tidak mau jika masalah ini semakin kemana-mana.

Tami hanya mengangguk. Ada banyak hal yang ingin perempuan itu tanyakan, tapi lagi-lagi dia berusaha menghargai privasi Luna.

Meski pertemanan mereka terbilang dekat, Tami tahu Luna tidak seterbuka itu. Sebagai seorang teman, Tami merasa tidak berhak mencampuri, kecuali jika Luna sendiri yang memintanya.

••••••••••••

Perempuan dengan setelan dress hitam itu berjalan pelan memasuki sebuah bar di pusat kota. Wajahnya menunduk hingga menemukan sebuah sofa untuk mendudukkan dirinya.

Malam minggu... Yah! Malam dimana kebanyakan orang menganggap momen tepat untuk menghabiskan akhir pekan dengan bersenang-senang.

Begitu juga dengan Luna. Memilih tempat paling pojok dengan pencahayaan minim, serta jauh dari jangkauan orang-orang yang barangkali mengenalinya.

Begitulah cara perempuan itu menenangkan diri. Tidak banyak teman membuat Luna merasa sulit berbagi perihal permasalahan hidupnya.

Tapi dengan begini, dia merasa bebannya sedikit terlupakan meski sementara. Menyesap minuman dari gelas kecil yang pelayan tadi hidangkan, sontak membuat pikiran Luna kembali tenang. Sepertinya, malam ini perempuan itu memutuskan untuk tidak pulang.

"Ngapain di sini? Jual diri ya!"

Deg!

Sepaket Luka & Obatnya (Versi benar)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang