•Qodarullah 10•

67 67 116
                                    

                     »»--⍟--««
            HAPPY READING!
                       ⋇⋆✦⋆⋇

                      🌼🌼🌼

Tak terasa dua minggu sudah bulan suci Ramadan berlangsung. Entah Hulya saja yang merasakannya atau semua umat muslim di dunia juga merasakan apa yang Hulya rasakan, hawa bulan suci itu sangat menyejukkan sekaligus melelahkan. Walau Hulya sedang berhalangan tapi tak bisa di pungkiri, ia juga merasa lelah seperti orang yang berpuasa pada umumnya. Matahari yang terik membuat Hulya yang sedang berjalan dengan tas gendong di punggung jadi menyipitkan mata karena silaunya.

"Duh, angkotnya lama banget lagi. Bisa telat ini." Hulya terus-menerus mengecek jam tangannya.

Hari ini Hulya akan pergi ke kampung sebelah untuk mengisi kajian Al-Qur'an. Memang kajian ini rutin di laksanakan pada bulan Ramadhan dan setiap tahun yang mengisinya adalah Hulya.

Hulya celingak-celinguk mencari angkot guna mencari angkot yang mungkin lewat. Tapi bukannya angkot Hulya malah menemukan asap rokok mengepul di antara tirai bambu.

"Hulya menyipitkan mata saat melihat siluet seseorang. Ia berdecak melihat orang tersebut ternyata seorang laki-laki. "Dasar anak muda jaman sekarang. Gak tahu rukun islam yang ke 4 apa ya?" Hulya sudah akan menegur tapi urung di tengah jalan saat orang itu ternyata Azka. Hulya buru-buru berbalik ke tempatnya yang semula.

"Ternyata si anak Jakarta... untung aja gak jadi di tegur. Males banget aku berurusan sama dia. Heran, kok perasaan aku suka papasan terus ya sama dia?"

Tapi, ngomong-ngomong tentang papasan. Dua minggu ini Hulya tidak pernah papasan lagi dengannya. Saat insiden Hulya memergoki kelakuan Azka pada orangtuanya, Azka jadi tidak pernah terlihat lagi. Dia bagai di telan bumi. Bukan, bukannya Hulya mencarinya. Namun, aneh saja saat anak jakarta itu tidak berbuat onar dalam dua minggu ini. Biasanya ada saja kelakuannya yang membuat pesantren heboh. Bagus, sih, setidaknya pesantren jadi lebih tentram.

Brak!

Hulya langsung mengelus dada saat melihat Azka di tengah jalan membanting helm di sebelah kanannya seorang nenek-nenek sedang duduk di trotoar sembari menatap Azka ngeri. Kasihan nenek itu.

Tolong  tidak ya? Kalau di tolong nanti dia akan berurusan lagi dengan Azka. Tidak! Hulya tidak mau. Hulya sudah cukup kapok dengan mulut pedasnya itu.

Dia mendesah. Baru saja di puji, sekarang sudah berulah lagi. Sepertinya Azka alergi dengan ketenangan.

Tiit tiiiit.

Suara klakson mobil mengagetkan Hulya. "Neng, mau naek ga?"

Hulya mengerjap tersadar. Perhatiannya teralih pada si Amang Supir yang sedang menatapnya. "O-oh iya, Mang."
Sepertinya Hulya tidak perlu ikut campur. Ia segera menaiki angkot biru itu lalu duduk ujung.

Kembali matanya ia alihkan pada Azka yang sepertinya masih marah-marah. Entah apa, yang jelas Hulya melihat gerak bibir Azka seperti tengah mengumpat.

Hulya geleng-geleng kepala. "Astaghfirullah, amit-amit kalau aku dapet suami kayak gitu," gumamnya pelan. Namun, sepertinya masih dapat di dengar oleh ibu-ibu hdi depannya.

"Cowoknya ganteng ya, Neng," ujar ibu yang berada di depannya dengan mata berbinar sembari mengusap-ngusap perutnya yang buncit. Sepertinya ibu itu sedang hamil. "Mudah-mudahan anak saya juga seganteng itu."

"Eh? Maksud ibu cowok yang mana ya?"

"Itu yang lagi di jalan sama neneknya." Si ibu lagi-lagi mengelus perutnya.

Qodarullah [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang