•Qodarullah 13•

36 37 0
                                    

              »»——⍟——««
          HAPPY READING!
                     ⋇⋆✦⋆⋇

                    🌼🌼🌼

Azka tengah duduk di sofa dengan memegang erat ponsel. Matanya tak henti melihat panggilan masuk dari nomor yang tertera di sana. Ia tahu, itu nomor papinya.

Ternyata Ama mmenyuruh Azka ke rumahnya karena papinya menelpon Azka.

Azka merasa tak karuan sekarang, ia ingin menjawab, hatinya benar-benar merasa rindu saat ini. Tapi rasa benci lebih mendominasi.

Azka memejamkan mata lalu membukanya. Persetan dengan benci, siapa tahu ada yang ingin orang ini bicarakan padanya 'kan? Bukan karena Azka rindu, tapi karena Azka penasaran saja. Iya, hanya penasaran.

Azka langsung menekan tombol hijau di sebelah kiri.

"Assalamualaikum, Aka. Ini Papi."

Entah kenapa hatinya merasa sedih mendengar suara Papinya yang lirih.

Azka berdehem, mengusir rasa sedih itu."Udah tahu!" jawab Azka seketus mungkin.

"Anda Ada perlu apa ya dengan saya?"

"Aka ... Papi kangen .... "

Tidak! jangan seperti itu. Jika Papinya berucap lirih begitu, benteng yang selama ini ia bangun akan runtuh dalam sekejap hanya dengan suara menyedihkan di seberang sana.

Tangan Azka mengepal kuat di bawah sana, menguatkan pada diri sendiri bahwa papinya pasti bahagia disana. Saat ini papinya pasti hanya bersandiwara. Iya pasti.

"Papi cuma mau ngomong... uhuk, uhuk, Jaga diri kamu disan—"

Tit...tit...tit.

Panggilan di putus sepihak oleh Azka. Azka benar-benar tak kuat sekarang. Seharusnya bukan itu yang diucapkan papinya. Seharusnya dia tidak usah peduli karena dia juga yang menjauhkan dirinya dari jangkauannya.

"Papi... " gumam Azka.

Di seberang sana, yang terhalang oleh lemari, Hulya melihat semuanya. Hulya melihat Azka yang rapuh. Tatapan yang biasanya tajam terganti dengan tatapan yang seolah menanggung banyak beban.

Hulya yang awalnya di suruh Abi untuk membawakan minum jadi ia urungkan saat Azka bergumam dengan menengadahkan wajah ke atas seolah putus asa.

Entah kenapa, Hulya seperti bisa merasakan apa yang Azka rasakan.

Hulya mengerti sekarang, entah masalah yang sebenarnya bagaimana, yang jelas Hulya sudah tahu garis besarnya saat Azka menelpon tadi, Hulya mendengarnya.

Azka tidak ingin membenci papinya, tapi Azka juga belum bisa menerima papinya. Rasa putus asa yang tengah Azka rasakan juga dapat di rasakan Hulya, menjalar ke ulu hati, hingga membuat hatinya sesak. Tanpa Hulya sadari, matanya memburam.

Rasa ini, sama persis saat uminya meninggal dunia.

"Umi... " Hulya mendongakkan kepala menahan agar air mata itu tidak jatuh. Tapi percuma saja, seberapa keras pun Hulya menahannya, air mata itu tetap terjatuh, Hulya hanya remaja 18 tahun yang masih butuh seorang Ibu.

Dihapusnya air mata itu dalam satu kali usapan. Hulya mulai melangkah membawa nampannya ke meja.

Azka masih tidak sadar dengan keberadaan Hulya. Matanya memejam dengan jakun yang naik turun seperti tengah menahan sesuatu yang amat mengganjal, menyakitkan.

Dari jarak dekat seperti ini, Hulya benar-benar merasakan emosi Azka. Hal itu membuat Hulya secara tak sadar berucap. "Jangan di pendam." Entah, Hulya tiba-tiba ingin Azka menumpahkan segala yang di pendamnya, hatinya terasa sakit melihat Azka seperti ini. Seperti dirinya dahulu.

Qodarullah [Sudah Terbit]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora