•Qodarullah 28•

27 34 2
                                    

            »»——⍟——««
         HAPPY READING!
                     ⋇⋆✦⋆⋇

                    🌼🌼🌼

Hari-hari Azka seperti biasa, pagi mengaji—walau Azka malah tertidur, sedangkan siang Azka tidur siang, sore nongkrong, dan malamnya ngobrol bersama Alan sambil ngopi ala-ala cowok. Selalu seperti itu, sampai Azka sendiri merasa jenuh dengan hidupnya yang begini-begini saja. Baginya yang pernah menjadi raja jalanan. Hidupnya yang sekarang ini benar-benar kurang menantang. Walau Azka akui, setiap hari suasana di kamarnya gaduh oleh canda tawa. Tapi tidak ada yang membuat adrenalin Azka benar-benar bangkit, tidak seperti saat dimana ia melakukan balap liar, adrenalinnya benar-benar memuncak. Ah, kadang ia rindu dengan suasana itu. Tapi di lain sisi, ia juga sudah nyaman di sini. Disini, ia juga sudah mulai belajar syari'at islam. Seperti tata cara berwudhu yang benar, cara solat lima waktu—walau masih suka main-main saat solat, cara solat sunah, cara puasa wajib, cara puasa sunah, dan masih banyak lagi.

Hanya saja, ia masih seperti ini-ini saja. Seperti ada yang kurang. Tapi ia juga tidak tahu itu apa.

Hampa. Itulah yang dirasakannya.

"Lan?"

"Hm?"

"Si Abizar kemana?"

Alan yang sedang mencatat pun menoleh pada Azka yang tengah terlentang di kasur.

"Di mesjid, biasalah lagi ngafalin kitab buat evaluasi bulan depan."

"Evaluasi?"

"Lomba baca kitab kuning antar kelas. Jangan bilang A Azka gak tahu?" Saat mendapat gelengan dari Azka Alan berdecak. "Udah di tempel dari minggu lalu juga di mading."

"Lagian gak penting juga."

Alan mengangguk membenarkan, untuk ukuran seorang Azka yang setiap ngaji selalu tidur, dan tidak pernah membawa kitab, ah ralat, tidak punya kitab, tak heran Azka menganggap evaluasi tidak penting, disaat semua orang menganggap lomba ini adalah hidup dan mati mereka.

"Teh Hulya juga ikutan, A."

Azka terkejut, sudah lama ia tak mendengar kabar tentang Hulya. Awal-awal ke pondok, Azka memang gencar mendekati Hulya lagi, tapi Hulya selalu menjauhinya. Bahkan saat di tanya beberapa kali pun Hulya enggan menjawab alasan di balik ucapannya saat di telepon waktu itu. Membuat dirinya akhirnya memilih menyerah.

"Selain lomba ini di tujukan agar para guru tahu sampai mana kemampuan kita, lomba ini juga salah satu alasan agar kita bisa naik kelas selanjutnya. Kayak Teh Hulya ini, Teh Hulya katanya ngincer kelas Ulya."

"Ulya?"

"Ck. Masa lupa? Itu lho yang kalo di SMA mah kelas 3." Alan menegakkan tubuhnya bersiap menjelaskan. "Semua kelas jumlahnya ada 3. Ula, untuk kelas satu yang benar-benar gak tahu apa-apa kayak A Azka, untuk kelas dua yang mulai ada remang-remang dalam membaca kitab kuning kayak saya sama Teh Hulya, dan Ulya, untuk kelas tiga kayak A Abi, kelas yang benar-benar udah jago baca kitab. Kelas yang di pimpin langsung oleh Ama. Sama aja kayak di SMA pasti ada kenaikan kelasnya. Bedanya kalau di pesantren naik kelasnya bukan pertahun tapi gimana gurunya. Kalau menurut guru itu kita udah bisa naik ke kelas lebih tinggi ya kita bakal di naikin walaupun cuma beberapa bulan aja. Kalau menurut guru belum bisa naik ya gak bakal di naikin walaupun udah bertahun-tahun. Tapi disini belum pernah ada yang beberapa bulan udah naik kelas. Biasanya kelas Ula yang mau naik ke kelas Wustho aja baru bisa naik 2 tahun kemudian. Kalo mau ke kelas Ulya paling sebentar itu 5 tahun. Tapi gak ada yang sampe lima tahun udah bisa, rata-rata disini paling  8-10 tahunan lah. Nah, dengan jadi juaranya kita di evaluasi ini bisa buat bantu naik kelas."

Qodarullah [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang