3

11.1K 1.2K 18
                                    

Aku kembali berjalan. Kali ini menyusuri taman rumah baron yang seluas 3 kali lapangan bola. Yah, kasta terendah dari bangsawan ini yang satu ini punya rumah lengkap dengan taman besar di dalamnya. Kalian bahkan bisa menemukan hutan kalau terus berjalan ke arah barat. Hutan itu sebenarnya bukan masuk ke wilayah Baron Elixi. Tapi, entah bagaimana mereka malah menjadi bagian dari rumah ini.

Yah, tak masalah buatku! Karena hutan itu sama sekali tidak menyeramkan. Malah menurutku sangat indah. Pepohonan dengan daun hijau berbaris rapi. Pucuk pohon melambai tertiup angin. Burung-burung kecil bersiul di sarang yang mereka buat di atas pohon. Para serangga melompat, merayap, terbang, menggeliat dan merangkak di mana-mana. Tak ada hewan melata dengan bisa dan racun yang mematikan. Juga tak ada hewan buas yang dengan mudah membuatmu bertemu Tuhan hanya dengan satu gigitan di leher. Hutan ini sepenuhnya aman. Atau setidaknya begitu dalam khayalanku.

Kedua kakiku ringan menyusuri jalan setapak yang terbuat dari batu mana. Rumah Baron Elixi juga terbuat dari batu ini. Itulah mengapa, kami tetap hangat di musim dingin dan tetap sejuk di musim panas. Batu ini seringan kapas. Tapi, sekuat baja. Batu mana memang sangat hebat. Itulah yang jadi alasan mengapa semua orang memburu batu ini. Beruntung sekali keluarga kami memiliki satu tambang penuh batu mana.

Orang-orang pasti akan memburu kepala kami jika mereka tahu fakta ini. Haha....

Hari ini aku akan menghindari ayah seharian. Agar dia tahu kalau putri semata wayangnya -yang sampai kapan pun tak akan pernah menjadi ratu- ini sedang merajuk. Dan, ketika sang putri sudah merajuk, dia akan melakukan hal apapun termasuk membahayakan dirinya. Yah, aku harap aku punya cukup nyali untuk melakukan hal yang terakhir.

Aku butuh tempat yang sempurna untuk melakukan acara 'menghindari ayah seharian' ini. Syukurlah putri baron ini punya bakat alami dalam menemukan tempat yang sempurna untuk bersembunyi. Tempat itu adalah hutan....

Hutan yang indah dengan bunga dan pohon rindang juga hewan jinak yang bersahabat.

Aku meneguk ludah begitu tiba di depan pintu masuk hutan.

Gelap.

Menyeramkan.

Mengerikan.

Tempat yang cocok untuk mati dan menyembunyikan diri. Bagus! Tidak akan ada yang bisa menemukanku karena aku yakin kalau para manticore itu menemukanku terlebih dahulu.

Coba lihat diriku!

Cantik.

Penuh daging.

Lembut.

Makanan utama yang bagus untuk para manticore. Ah, untuk griffin juga bagus. Yah, hewan manapun yang memakanku nanti, mereka beruntung. Aku yakin mereka akan kenyang.

Aku menghembuskan nafas panjang. Kaki kananku melangkah pelan. Kaki kiriku menyusul. Tinggal beberapa langkah lagi dan aku akan berhasil sampai di dalam hutan. Maksudku, masuk ke bagian pinggir hutan.

"Ayo, Althea! Kau akan baik-baik saja. Yah, selama tidak ada hewan buas kelaparan yang menemukanmu."

Aku menutup kedua mataku. Sel otakku memutar kembali ingatan ketika ayah menceramahiku. Kedua kakiku melangkah dengan pasti menuju hutan. Ingatan tentang ceramah itu memang selalu berhasil mendorongku melakukan hal gila.

Aku membuka kelopak mataku ketika wajahku tersapu dedaunan. Sesuai dugaan, aku berhasil masuk ke hutan.

Hutan ini jauh sekali dengan imajinasiku. Pepohonan yang tumbuh dengan rapat. Dedaunan yang terlalu rindang hingga menghalangi sinar matahari. Tidak ada satupun burung yang berani membangun sarang di sini. Para serangga bersembunyi di sarang mereka. Sementara, para pemangsa bersiap untuk berburu. Dan, salah satu buruan mereka dengan senang hati tengah berusaha menyerahkan diri. Benar-benar hutan yang sangat indah.

Semoga ini bukan hari terakhirku hidup!

Langkah kakiku terus berjalan memasuki bagian dalam hutan. Pepohonan semakin rindang hingga aku tak bisa melihat apa yang ada di sekitarku. Cahaya matahari hanya terasa seperti kunang-kunang di gelapnya malam. Tidak banyak membantu mataku melihat lebih baik. Tapi, setidaknya bisa mengingatkanku jika di luar sana ada tempat yang indah. Seharusnya, aku meninggalkan wasiat sebelum pergi ke sini.

Kresek!!! Grasak!!!!

Aku memutar kepalaku. Hanya ada pepohonan. Tapi, semak-semak di dekatku bergerak. Dan, ada seekor singa besar dengan ekor kalajengkingnya yang mencuat. Itu sudah pasti ekor Manticore. Dan, sudah jelas kalau dia sedang lapar.

"Argh!!!"

Aku berlari dengan cepat. Tak peduli dengan wajah dan tubuhku yang tergores ranting pohon. Juga tidak peduli dengan sepatu hak tinggiku yang terlepas. Atau, peduli dengan pakaianku yang robek dan kotor. Ayahku juga pasti tidak akan terlalu peduli akan hal ini jika dia tau aku sedang menghadapi Manticore raksasa kelaparan yang mengejarku. Yang dipaksa menikah dengan kaisar kan aku. Bukan gaun atau sepatuku. Jadi, yang terpenting sekarang adalah aku tetap hidup.

Aku berhenti berlari setelah tak lagi mendengar suara raungan singa raksasa itu. Nafasku tersengal. Rasanya benar-benar melelahkan. Terakhir kali aku berlari dengan kencang seperti ini juga dengan alasan yang sama. Menyelamatkan nyawaku. Bedanya, aku menyelamatkan diriku dari pemaksaan pertemuanku dengan kaisar yang diadakan langsung oleh ayahku. Memangnya, dia pikir si es berhati dingin itu akan dengan senang hati datang hanya karena seorang Baron mengundangnya?

"Halo, Baron Elixi! Putri anda sangat cantik. Saya akan menikahinya!"

Lalu, kami pun hidup bahagia selamanya. Hah! Dibandingkan 'bahagia selamanya' lebih tepat jika 'saya akan membuatnya menyusul ibunya'.

Aku memang menyayangi ibu. Tapi, bukan berarti aku ingin menyusulnya. Aku masih ingin merasakan masa lajangku tau!

Aku memutar kepalaku.

Bagus! Terima kasih banyak Tuan Manticore yang kelaparan! Berkat anda yang mengejar saya, saya jadi tidak tau arah. Dan, sekarang saya tersesat! Hore!!!!

Mengetahui jalan saja belum tentu aku bisa keluar dari hutan ini. Apalagi jika tidak tahu!

Tamat sudah.

Aku akan menua di tempat ini atau menjadi hewan buruan sama seperti yang lain. Tak akan pernah ada yang bisa menemukanku.

"AKU SANGAT MENYESAL!!!"

Grasak!!!

Sebuah suara muncul dari balik semak belukar. Aku sudah berusaha sekuat tenaga kabur dari perut manticore. Dan, sekarang, aku malah mengundang makhluk lain untuk datang. Kali ini, makhluk apalagi yang harus aku hadapi? Aku sudah lelah berlari. Tapi, aku tidak ingin mati.

Aku mengambil sebuah dahan pohon kecil. Ini mungkin tidak akan banyak membantuku menghadapi monster di hutan ini. Yang ada mereka akan jadi semakin marah dan ingin memakanku. Tapi, aku tidak punya pilihan lain.

Sebuah bayangan melompat dari balik semak. Aku memejamkan mataku. Dengan cepat mengayunkan dahan itu. Telak mengenai makhluk yang hendak menerkamku.

Tak ada geraman kesakitan atau raungan kemarahan.

Apa aku baru saja membunuh monster hutan? Tapi, mereka bukanlah makhluk yang dengan mudah dibunuh hanya dengan dahan kayu. Kalau begitu, mungkin makhluk ini pingsan. Apapun itu, yang penting dia tidak jadi memakanku.

Aku membuka mataku secara perlahan. Seorang pria dengan  baju zirah tergeletak di atas tanah dengan dahi yang berdarah. Dan, aku rasa dia tidak bernafas.

"Seorang Putri Baron X membunuh ksatria di hutan!"

Aku meneguk ludah.

Emperor, Please Obey Me!✔ Where stories live. Discover now