63

3.9K 689 84
                                    

Aku segera berlari ke arah ibu yang terbaring di atas lantai dengan darah menggenan di sekitarnya. Tubuhku bergetar. Air mataku mengalir tanpa bisa dikendalikan.

Apa yang terjadi pada ibuku?

Bagaimana mungkin dari lubang hidung, telinga dan mulutnya keluar darah? Aku bahkan tidak bisa melihat wajahnya karena tertutup darah. Dimana ayah? Kenapa tidak ada satu pun yang menolong ibu? Apa rumah kami dirampok? Tapi, semua orang pun tahu kalau kami sangat miskin. Ibuku tidak mungkin dibunuh oleh pembunuh bayaran karena aku jadi ratu, kan?

Padahal semuanya baik-baik saja.

"Ibu!!!" kataku sembari mendekap ibu ke pelukanku.

Aku sama sekali tidak peduli dengan darah yang menempel di gaunku. Juga tidak peduli dengan bau amis dari darah. Aku bahkan sampai lupa kalau aku takut dengan darah karena terlalu panik.

Perut ibu tiriku masih naik turun walau lemah. Itu artinya dia masih hidup. Tapi, ibu tiriku sekarat. Aku harus segera membawanya ke rumah sakit. Kalau aku meminta bantuan kusir untuk mengangkat tubuh ibu tiriku, dia mungkin tidak akan bisa bertahan. Tapi, apa aku cukup kuat untuk membawa ibu tiriku ke lantai bawah?

Aku berdiri. Kedua tanganku bersiap mengangkat tubuh ibu tiriku. Kedua kelopak matanya terbuka. Dia menatapku. Tersenyum lemah.

"Thea...." lirihnya pelan.

Aku kembali terduduk demi mendengar suara ibu tiriku yang begitu lirih. Aku menggenggam tangan kananya dengan kedua tanganku.

"Jangan menangis! Ibu jadi tidak bisa tenang meninggalkan Thea sendirian!" katanya.

Air mataku mengalir lebih deras.

Apa aku akan kehilangan ibuku untuk kedua kalinya? Aku tidak mau! Cukup ibu kandungku saja yang pergi. Aku tidak akan mengeluh lagi. Aku tidak akan mengomel lagi. Aku tidak akan nakal lagi. Asalkan ibuku bisa selamat.

"Ibu! Jangan pergi!" kataku sembari memeluk ibuku. Aku menangis di atas perutnya.

Ibu tiriku mengusap kepalaku pelan. Air mata yang mengalir dari matanya bercampur dengan darah.

"Ibu harus pergi agar Thea bisa selamat." katanya.

Aku kembali duduk di sampingnya.

"Selamat? Thea justru akan mati kalau ibu pergi!" kataku di sela isak tangis.

"Thea, ibu bukanlah orang tua yang baik. Ibu sudah menbuat Thea terluka. Ibu harus mati. Dengan begitu, mungkin ibu bisa mengurangi dosa ibu pada Thea."

"Tidak mau! Tidak boleh! Ibu tidak boleh pergi! Thea mohon!" kataku.

Kepalaku menunduk. Air mataku mengalir lebih deras. Kenapa aku tidak bisa menjaga orang yang berharga untukku? Andaikan aku punya sihir penyembuhan seperti keturunan Elixi yang lain. Andaikan aku cukup kuat. Andaikan aku tidak lemah. Aku pasti bisa menyelamatkan ibu. Aku pasti bisa menyelamatkannya.

"Thea, jangan menyalahkan dirimu sendiri! Tidak semua hal bisa kita kendalikan dengan tangan kita sendiri. Terkadang, ada saatnya kita harus pasrah pada keadaan. Dan, sekaranglah saatnya."

Aku mengangkat kepalaku. Wajahku pias begitu melihat air mata yang keluar dari mata ibu tiriku kini berubah jadi darah.

"Sebelum ibu mati, ada yang ingin ibu katakan padamu. Tidak semua sampul buku menjelaskan isinya."

"Uhuk! Uhuk!"

Ibu tiriku terbaruk. Sekarang, dari mulutnya juga keluar darah. Ibu tersenyum. Dia menatapku untuk terakhir kali. Kelopak matanya perlahan menutup. Air mataku seketika tumpah. Aku mengangkat tubuh dingin ibu tiriku dan memeluknya.

"Ibu!!! Jangan pergi!!! Thea mohon!!! Huhu!!! Ibu!!!" teriakku.

Hening.

Tidak ada jawaban.

Hanya suara tangis dan teriakanku saja yang terdengar. Aku meletakkan tubuh ibu di atas lantai dengan perlahan. Aku terisak di samping tubuhnya yang tiba-tiba mulai kaku.

Deg!!!

Jantungku berdetak kencang. Memompa rasa skait ke seluruh tubuhku. Rasanya sangat sakit seperti ditusuk ribuan belati. Pandanganku kabur. Seluruh mataku tiba-tiba jadi gelap.

"Ugh!!! Sakit!!!" kataku sembari meremas rambutku.

Aku benar-benar tidak tahan dengan rasa sakit ini. Rasa sakit ini persis dengan ketika aku telat meminum obat penenangku. Tapi, rasa sakit kali ini belasan kali lebih menyiksa. Padahal, batas waktuku minum obat penenang masih 30 menit lagi. Bagaimana mungkin aku bisa merasakan sakit sekarang?

Rasanya seperti ada sesuatu yang memaksa keluar dari tubuhku setelah lama dikurung.

Bruk!!!

Aku terjatuh di samping tubuh ibu tiriku. Kedua mataku mengerjap. Apa aku juga akan mati?

Aku menatap tubuh ibu tiriku yang tiba-tiba berubah jadi abu dan menghilang. Hanya menyisakan bentuk tubuhnya saat ia mati. Aku tersentak. Tubuh yang jadi abu? Itu adalah ciri khas seorang penyihir ketika mereka mati.

Apa ibu tiriku selama ini adalah penyihir? Kalau begitu apa selama ini dia menipu aku dan ayah? Apa mungkin obat yang ia buat bukanlah obat penenang? Apa sebenarnya aku tidak butuh obat itu? Tapi, kenapa ibu tiriku melakukan semua ini? Apa yang membuat dia begitu membenciku?

Aku tidak sanggup berpikir lagi. Semua pertanyaan itu lenyap ketika mataku tertutup.

Aku tidak bisa menahan rasa sakitnya lagi.

"THEA?! KAU DIMANA?" teriak seseorang dari lantai bawah.

Ah, aku mengenal suara ini dengan sangat baik. Ini adalah suara orang yang dulu aku anggap bencana. Namun, sekarang dia justru seperti anugerah untukku. Tapi, kenapa rasanya aku sudah mengenal suara ini sejak lama? Bahkan, rasanya baru ada ribuan orang yang menghuni bumi ketika aku bertemu dia. Apa otakku bermasalah? Apa rasa sakit ini menyebabkan kerusakan di otakku?

"Bagus! Sekarang hanya perlu membuatmu sekarat lagi!"

Ah, suara ini. Persis seperti suara seseorang yang berbisik padaku di kamar Chandler. Suara siapa ini?

"Thea?!"

Ugh!

Kenapa Chandler mengangkat tubuhku dengan kasar begini? Ah, detak jantungnya kencang sekali. Apa dia lelah setelah naik kereta kuda kemari? Atau, apa dia takut kehilangan diriku? Bau bunga roscena dari tubuhnya membuatku ingat akan seseorang. Seseorang yang mati padahal aku sudah susah payah menyelamatkannya. Kenapa aku tiba-tiba jadi ingin memukul Chandler, ya?

"Thea! Bertahanlah! Jangan mati lagi!" kata Chandler.

Eh?! Air apa yang membasahi wajah dan leherku ini? Apa Chandler menangis? Aku ingin membuka mataku. Tapi, rasanya sulit sekali.

Aneh! Padahal dia tidak sedang berada dalam pengaruh ramuan cinta. Kenapa dia sekhawatir ini padaku? Sebenarnya, apa yang dirasakan Chandler saat melihatku bersimbah darah dalam keadaan tak sadarkan diri? Apa yang ada di pikiran Chandler sampai dia menangis seperti ini? Bahkan, tangannya yang biasanya kuat saja sampai gemetar seperti ini.

Ah, aku jadi semakin merindukannya. Seseorang yang dulu selalu memanggil namaku dengan hangat. Seseorang yang dulu selalu tersenyum padaku. Seseorang yang dulu selalu menatapku dengan manik mata merah darahnya.

Aku sangat merindukan dia. Rasa rindu ini benar-benar tidak bisa dibendung lagi.

Aku ingin bertemu.....

Xandler.

Tapi, memangnya dia siapa sampai aku sangat merindukannya?

Aneh sekali!

Emperor, Please Obey Me!✔ Where stories live. Discover now