10 - Alasan yang Lain

4.1K 449 122
                                    

Suasana Natal sudah terasa di mana-mana padahal ini baru minggu pertama bulan Desember. Beragam ornamen khas Natal nampak terpasang menghiasi berbagai sudut area terminal Bandara Juanda. Tak hanya itu, dengan menggunakan kostum Sinterklas, para Duta Bandara nampak antusias membagikan kue bagi penumpang yang sedang berada di area tunggu bandara.

Jecelyn menarik senyumnya, dulu sewaktu kecil dia juga suka diberi hadiah seperti itu oleh Kakek Santa. Jeffrian menatapnya, selama satu setengah jam di pesawat dia tidak melihat Jecelyn tersenyum sama sekali, bahkan sekadar mengajaknya bicara pun tidak.

"Kamu mau aku ambilkan kue juga?" Jeffrian bertanya untuk menggodanya tapi Jecelyn tidak menggubris. Menarik kopernya dan berjalan cepat.

"Kamu kenapa sih Sayang, diemin aku terus dari kemarin?"

Masih tidak ada jawaban.

Hari Kamis siang Jecely dan Jeffrian berangkat ke Surabaya untuk membantu persiapan pernikahan adik Jecelyn. Acara pemberkatan dan resepsi sebenarnya dilaksanakan di Bali hari Minggu. Tapi sebagai keluarga mempelai mana mungkin mereka datang di hari H acara, tentu saja paling tidak mengikuti prosesnya. Besok pagi ada siraman di rumah keluarga besarnya.

"Yang, aku ada salah apa sama kamu? Ayo bicara jangan diam seperti ini."

"Banyak, salah kamu banyak sekali Jeffrian hingga aku tidak tahu harus mulai dari mana. Mungkin sejak awal semuanya sudah salah." Batin Jecelyn.

"Aku lebih suka kamu omeli bahkan marahi daripada kamu diamkan seperti ini."

Jeffrian mencekal lengan Jecelyn hingga membuat langkahnya terhenti.

Jecelyn menatap suaminya, ingin sekali detik itu memaki bahkan menampar Jeffrian. Meluapkan kekesalannya tentang kelakuan busuknya di belakang dirinya. Tapi Jecelyn masih menahannya.

Semalam, setelah menatap cukup lama surat gugatan cerai yang hampir ia tanda tangani, Jecelyn memutuskan untuk menyimpannya di laci. Dia tidak akan menceraikan Jeffrian sekarang. Tidak di waktu harusnya berbahagia karena pernikahan adiknya.

Jecelyn tidak mau mengubah tawa bahagia keluarganya menjadi tangisan kasihan.

"Celyn..."

"Aku hanya sedang tidak ingin bicara denganmu Mas."

"Iya tapi kenapa? Pasti ada alasan kamu kesal seperti ini"

"Aku bilang sedang tidak ingin bicara!" Jecelyn menghentakkan tangan Jeffrian dengan kesal. Meninggalkan pria itu di belakang dan menaiki taksi tanpa suaminya.

.

.

.

Jecelyn mengusap air matanya. Tangisnya pecah saat adiknya meminta restu pada ayah dan dirinya sebelum resmi meminang sang tunangan. Apalagi ibu mereka sudah tidak ada, acara itu semakin terasa kosong dan mengharukan.

Persis seperti ini, dua tahun yang lalu Jecelyn juga sungkem kepada ayahnya. Air mata berlinangan karena tak kuasa meninggalkan cinta pertamanya demi hidup bersama pria yang katanya menjadi takdirnya, jodohnya. Yang pada akhirnya kini melukainya.

Membohonginya dengan sebuah penghianatan yang menjijikan. Membagi cintanya untuk yang lain. Hati Jecelyn bagai tersayat-sayat.

Bahkan pria yang sampai detik ini tidak menyadari kesalahannya itu hanya menepuk-nepuk bahunya. Mengiranya menangis segila itu karena tidak sanggup melepas adiknya.

Jeffrian meraih tisu dan menghapus lelehan air mata istrinya. Jecelyn masih sesegukan.

"Kamu mau minum?"

Night In BaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang