19 ~ Panggilan Terakhir

2K 202 0
                                    

Apa yang aku lakukan berhasil!
Mereka hanya terfokus padaku.
Haruskah selalu dengan cara seperti ini?
Ah, nasi sudah menjadi bubur.
(L.K)

🍂🍂🍂

Raut wajah Satya tampak merah padam. Ia melihat sang adik berjalan ke arahnya dengan tampang tanpa dosa. Terlalu santai seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal seharusnya ia tahu, panggilan telepon dan isi chat dari kakaknya cukup menggambarkan bagaimana isi hati sang kakak.

Marah, kesal, ingin membanting sesuatu, terlebih melihat si bungsu justru melenggang begitu saja. Mengambil helm yang digantung di sisi depan motor, mengenakannya, lalu menoleh untuk mengajaknya pulang.

"Nuggu apa lagi? Mau pulang, kan?"

"Kamu nggak tanya berapa lama kakak nyariin dan nunggu kamu?"

"Makin lama jelasin, makin lama sampai rumah."

"Gimana Bapak mau kasih izin bawa motor kalau kamu sering ngilang gitu saja? Rekapan bolos jam pelajaran sudah melebihi batas kewajaran. Sekolah titip surat panggilan orang tua."

"Kasih ke Bapak saja, biar tahu kalau anak bungsunya bikin masalah."

"Ya, emang. Selama ada orang tua, tidak diperkenankan diwakilkan kepada saudara atau yang lainnya."

"Baguslah. Aku sudah kangen dapat perhatiannya Bapak. Bapak terlalu fokus sama pekerjaan dan cari uang. Padahal aku nggak sepenuhnya butuh uang terus."

Satya yang menyiapkan kata-kata serangan untuk adiknya, akhirnya urung melanjutkan pertengkaran. Ada sorot mata yang terlihat sedih ketika mengucapkan hal itu. Ada bening yang ditahan oleh si bungsu.

"Naik!" perintah Satya pada adiknya yang sedari tadi hanya berdiri di samping motor.

Dama dan Satya sama-sama diam. Biasanya ada celetukan tanya atau canda, kali ini hening saja yang ada. Mereka terbawa suasana, senja tidak secerah biasanya. Lebih dominan mendung. Begitu juga dengan hati mereka yang mendung dan tidak baik-baik saja.

Udara sore ternyata bisa sedingin ini. Apalagi Dama lupa membawa jaket dan meninggalkannya di laci meja kelasnya. Awalnya, ia berniat untuk kembali ke sekolah, atau setidaknya meminta bantuan salah satu teman untuk membawakan dan memberikan padanya di luar halaman sekolah.

Ternyata, rencananya tidak sesuai perkiraan. Ia tidak bisa kembali ke sekolah, dan kembali justru tertangkap basah oleh kakaknya.

Selamat menikmati dinginnya, Dam. Makanya jangan badung setengah-setengah. Sudah tau badan sendiri ringkih. Nikmati saja, angin akan selalu bersahabat denganmu si penyuka dingin, batin Dama

Begitu sampai di rumah, si bungsu bergegas ke kamar. Bukannya membersihkan diri, ia justru masuk di bawah selimut. Badannya menggigil kedinginan. Untu kali ini, angin tidak lagi bersahabat dengannya.

Setelah dirasa agak hangat, barulah Dama berani beranjak dan membersihkan badan juga meletakkan seragamnya di keranjang baju kotor di sudut meja. Ia kemudian lanjut mandi dan setelahnya baru turun menuju dapur untuk mengambil air hangat.

Suara terbatuk beberapa kali terdengar dari arah dapur. Salsabila yang masih ada di rumah itu berjalan menuju dapur dan mendekati adik iparnya.

"Mau ngapain, Dam?"

"Ambil air hangat, Mbak. Yaya ke mana?"

"Ada di kamar, bentar lagi juga keluar kalau tahu kamu sudah pulang ..." Ucapan istri Bang Asa itu diinterupsi oleh batuk yang tampak begitu menyiksa tenggorokan dan dada Dama. "Air hangatnya diirisin jahe, Dam, biar hangat."

Susahnya Jadi Badboy Tanggung ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang