20 ~ Kisah yang Tersembunyi

2.3K 209 2
                                    

Setiap perbuatan pasti ada sebab akibat.
Salah sedikit, akan menghapus semua benar.
Meski benarmu segunung, salahmu setitik.
Rusaklah semua benarmu.

(L.K)

🍂🍂🍂

Dama terbangun dengan perasaan sedikit tak enak. Ia memikirkan mimpi semalam, yang diingatnya adalah perdebatan kedua orang tuanya. Di alam bawah sadarnya ternyata perdebatan nyata itu masuk dan mempengaruhi mimpinya.

Si bungsu merasa ada yang aneh. Ia berpikir itu hanya mimpi saja, tetapi saat mengendus bau tubuhnya, ia mencium bau minyak kayu putih yang kuat. Begitu juga dengan keberadaan segelas air di samping tempat tidurnya.

Bisa jadi apa yang di mimpi semalam itu sebenarnya adalah nyata. Sayangnya aku nggak sadar. Itu ngapain juga Bapak sama Ibu berdebat malah di sini, batin Dama.

Lelaki pemilik mata sipit itu akhirnya berhenti bertanya-tanya karena tidak ingin terlambat lebih lama lagi untuk salat subuh. Begitu selesai, ia langsung mempersiapkan diri untuk ke sekolah.

"Dam, hari ini ke sekolahnya sama Bapak. Kakak ada acara MGMP guru di SMA Bina Bangsa."

"I-iya, Kak."

Suara gugup Dama terdengar oleh Satya. Ia kembali lagi ke kamar sang adik dan masuk tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu. Satya langsung duduk di kasur sambil mengamati si bungsu yang mondar-mandir mengambil dan memasukkan barang ke dalam tasnya.

"Nanti kalau ditanya jawab saja kamu ke mana saja. Kalau Bapak kayaknya nggak akan tanya-tanya lagi. Kakak sudah jelaskan semuanya."

"Semobil sama Bapak, selama setengah jam lebih. Aku harus gimana?"

"Duduk, diam, napas. Udah gitu aja dah cukup."

Dama menatap tajam sang kakak yang sedang bercanda mode on, sementara dirinya sedang tidak berniat untuk bercanda. Beginilah biasanya yang terjadi, saat saling bertengkar, tidak ada yang bertegur sapa. Namun, saat semua sudah terasa biasa, maka bercanda adalah jalan ninja untuk mengembalikan suasana.

"Nggak gitunya, Kak. Aku canggung kalau sama Bapak. Apalagi ini dalam rangka memenuhi panggilan sidang. Kenapa nggak Kakak yang mewakili."

"Sudah dibilang nggak bisa. Itu sudah final dari bagian kesiswaan. Nggak bisa dan nggak boleh diwakili."

"Hmm ..."

"Selamat berjuang. Makanya nggak usah sok jadi anak nakal."

Sekali lagi, tatapan tajam Satya dapatkan dari adik bungsunya itu. Bukannya marah, ia malah tertawa dan meninggalkan kamar si bungsu. Sepeninggal sang kakak, Dama menarik napas dan mengembuskannya, hal ini terjadi berkali-kali, tetapi rasa gugupnya tidak juga hilang.

Sarapan sudah selesai, Pak Renan juga tidak mengeluarkan sepatah kata apapun. Baru saat sampai di teras, si kepala keluarga meminta Dama untuk membawa jaket sebelum naik mobil.

Mau tak mau Dama berlari lagi ke kamar dan memenuhi perintah bapaknya. Begitu didapat, si bungsu langsung menuju pintu sisi penumpang sebelah sopir.

"Pakai jaketnya! Bapak mau nyalakan AC mobil. Nanti batukmu nggak sembuh-sembuh."

"I-iya, Pak."

"Sudah berapa kali dibilang, kalau naik motor pakai jaket. Kamu memang suka dingin, tapi kalau sudah kedinginan, ya begitu itu."

Dama tidak ingin memperpanjang percakapan canggung itu lagi. Di satu sisi ia merasa masih mendapat perhatina, sementara sisi satunya ia merasa bersalah karena kebersamaan kali ini justru dipicu oleh kesalahannya sendiri.

Susahnya Jadi Badboy Tanggung ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang