22 ~ Akhir (END)

3.4K 250 31
                                    

Tidak akan ada kata terlambat untuk semua yang berusaha.
Meski itu adalah detik terakhir, pasti akan sempat.
Jika memang terlewatkan, jangan risau!
Karena itulah yang terbaik.
Mungkin lebih baik tidak tahu, daripada tahu lalu menjadi sakit.
Atau, boleh tahu meski akhirnya harus menelan sakit.
(L.K)

🍂🍂🍂

Suara anak kecil menangis membuat Dama terbangun dari tidurnya, dua hari di rumah sakti membuatnya tidak enak dan tidak nyenyak untuk tidur di rumah sakit. Jika boleh meminta, ia ingin segera pulang.

Ditambah lagi dengan ia yang tidak suka bau karbol dan alkohol khas rumah sakit. Hal itu membuat mualnya semakin tidak tertahankan. Dama bahkan memohon pada ibunya untuk segara pulang, tetapi berdasarkan saran dokter, ia masih belum diperbolehkan untuk pulang.

"Om Dama!" teriak Yaya sambil meminta turun dari gendongan sang ayah,

Gadis kecil itu langsung naik ke atas brankar dibantu bundanya. Begitu sampai, ia langsung menjatuhkan tubuhnya di atas dada Dama.

"Allahuakbar," ucap Dama pelan karena kepala Yaya tanpa sengaja menyenggol bagian yang retak.

Dari wajahnya yang meringis sudah bisa ditebak bagaimana rasa sakitnya. Tetes air mata yang hendak jatuh, terpaksa diusap sebelum benar-benar menetes.

"Yaya, pelan-pelan. Itu omnya masih sakit, Nak."

"Om masih sakit? Mana yang sakit? sini Yaya obatin."

"Didatangi sama Yaya seperti ini sudah bikin Om Dama senang. Besok juga sudah boleh pulang."

"Eh, emang benar sudah boleh pulang, Sat?" tanya Salsabila pada Satya yang fokus menonton siaran langsung sepak bola.

"Kapan mau pulang, Mbak?"

"Besok katanya Dama."

"Dama aja yang halu keburu pengin pulang. Padahal nggak dikasih izin, tapi dia ngotot pengin pulang. Udah engap nyiumin bau karbol dan alkoholnya rumah sakit."

Merasa menjadi bahan pembicaraan, Dama melihat kakak ipar dan kakaknya secara bergantian. Ia memasang wajah melas meminta bantuan untuk bisa segera pulang, tetapi semua hanya keinginannya, tanpa seizin dokter yang bertugas.

Akhirnya, setelah melengkapi hidupnya dengan bermalam di rumah sakit selama enam hari, Dama diperbolehkan pulang. Dengan beberapa catatan terutama tulang rusuknya yang masih belum sembuh benar.

Ia mendapat banyak wejangan dari setiap orang yang datang menjenguknya. Beberapa teman Pak Renan juga turut menjenguk. Bahkan mereka tertawa lebar dan mengacungi jempol pada Dama yang berani bertaruh nyawa untuk melindungi orang lain.

Beberapa teman dari ibunya juga tak kalah heboh saat melihat Dama terbaring tak berdaya. Banyak yang menyayangkan, ganteng-ganteng malah sakit. Padahal, sakitnya juga tidak mengurangi kadar ketampanan yang dimilikinya.

Seseorang yang paling ditunggu akhirnya datang menjenguk di hari ketiga Dama dirawat di rumah sakit. Om Tito bersert istri dan kedua anaknya datang membawakan parsel buah dan buket bunga.

Dengan malu-malu, Tasya menyerahkan buket buka itu, "Semoga lekas sembuh, Mas Dama. Terima kasih waktu itu sudah bantu Tasya dan anterin sampai di rumah."

"Kembali kasih, Tasya."

Om Tito hanya mengamati dari jauh. Seseorang yang biasanya banyak bicara, nyinyir dan julid, akhirnya bisa diam juga. Semua itu bisa terjadi karena merasa berhutang budi pada Dama.

Jika bukan karena Dama, mungkin Tasya akan pulang hanya tinggal nama saja. Memang benar apa kata pepatah, harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan budi pekerti yang baik.

Susahnya Jadi Badboy Tanggung ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang