EMPAT PULUH SEMBILAN

427 109 474
                                    

Dua pemuda ini sedang duduk di balkon kamar. Lebih tepatnya balkon kamar Veo. Veo dan Devan duduk di sini.

Veo memang sengaja mengajak Devan mengobrol di balkon kamarnya.

"Silahkan di makan, den Devan," suruh bi Muti setelah meletakkan nampan di atas meja bundar berwarna putih.

"Makasih, bi," ucap Devan sambil tersenyum.

"Sama-sama," balas bi Muti lalu berjalan meninggalkan keduanya.

Veo dan Devan meneguk jus jeruknya.

"Mau ngomong apa?" tanya Veo penasaran.

Devan tampak berpikir sejenak lalu menghembuskan napas berat.

"Lo beneran yakin pembunuhnya anak Alleos?" tanya Devan yang masih kurang yakin.

Veo mengangguk.

"Menurut lo siapa?"

"Leo," jawab Veo tanpa ragu.

"Kenapa lo nuduh Leo? Kenapa bukan Bryan?"

"Dia dulu temen baik Bondan, tapi nggak berlangsung lama. Karena Leo iri dengan apa yang di miliki Bondan," jelas Veo panjang lebar.

Ya, Veo memang sudah mendapatkan info banyak tentang Leo.

"Lo seyakin itu?"

Veo kembali mengangguk.

Veo menatap Devan yang duduk di depannya.

"Kenapa? Lo masih ragu?"

Devan menggeleng pelan.

"Gue cuma nggak percaya aja dia pembunuhnya."

Devan menatap Veo lekat-lekat, mencari keyakinan lagi di mata pemuda itu.

"Kenapa?"

"Gimana kalo ternyata pembunuhnya bukan Leo?"

Veo tertawa sinis. "Kalo dia ataupun anak Alleos yang lain bukan pembunuhnya, nggak mungkin gue lakuin ini semua."

Devan mengangguk percaya dengan ucapan Veo. Dari awal ia mendengar penjelasan Veo, ia juga sudah bisa menangkap siapa di balik semua ini.

"Ve," panggil Devan.

"Hm,"

"Dengan cara apa dia bunuh Bondan malem itu? Sedangkan berita yang beredar itu tabrak lari, tapi ada juga yang bilang remnya blong," jelas Devan.

Veo kembali meminum jusnya. Ia menghela napas berat.

Veo kembali menatap serius Devan, lalu tangannya memegang pundak pemuda itu.

"Kita butuh saksi."

*****

Setelah mengobrol serius bersama Devan, Veo mengajaknya bermain game di kamarnya. Lebih tepatnya ruangan khusus untuk bermain PS.

Veo menyalakan komputernya. Setelah menentukan game apa yang akan di mainkan, keduanya memegang stik masing-masing dan mulai bermain.

Setelah pertemuan malam itu, keduanya memang sangat akrab. Walaupun Devan sudah kelas tiga, tetapi ia memiliki tahun lahir yang sama dengan Veo.

Itulah sebabnya mereka sudah seperti teman sebaya.

"Van," panggil Veo.

"Hm,"

"Lo nggak pengen cari keberadaan adik lo?"

Devan terdiam, bahkan ia membiarkan Veo untuk menang.

Secret & Truth [END]Where stories live. Discover now