dua; perihal korek api

9 6 0
                                    

dinarasikan atas sudut pandang korek api
sebagai sebuah benda

— & —

Aku kenal Adirga sejak dunia masih mencecapnya sebagai bocah ingusan. Menggerus nyali, melumat afeksi, menelan bulat-bulat hati. Ditinggalkan belas kasih putuskan hidup bagai orang mati. Bocah tersesat yang tidak punya tempat untuk ia sebut rumah. Celotehnya muluk tentang kejam orang asing, entah tertimpa sial apa sampai berlabel orang tuanya. Dua orang penting yang seharusnya jadi nahkoda kehidupan berlayar, tanpa bimbingan mereka, anak seperti Adirga rentan hilang arah.

"Gue sedih banget, anjing. Setan, bangsat, bajingan. Bonyok sama-sama goblok. Siapa yang suruh gue lahir di keluarga itu? Mending gue balik jadi sperma sekalian!"

Malangnya jadi makhluk yang punya kehidupan, ditampar terus-terusan oleh kenyataan. Kesedihan dan hal menyayat kesanggupan. Ledakan emosi mendera, Adirga pulangkan ke anak-anak nakal yang menerima hadir apa adanya. Pada mereka Adirga berkeluh kesah. Tumpahkan air mata yang tertahan ego, dibalur malu anak lelaki. Akhirnya sedih tersalurkan lewat hembusan sigaret, pukulan tanpa tujuan di pinggir jalan, serta kelakuan tanpa mengenal norma. Mengundi nyawa bagai dia punya sembilan saja. Adirga makin tersesat. Tidak ada yang menyuruhnya pulang.

"Chill, bro, chill. Lo masih punya kita-kita, ya nggak? Kita sediain tempat kalau lo beneran kabur dari rumah." Aku diulurkan dari tangan sebelumnya ke tangan Adirga. "Ilangin asem di mulut dulu. Habis berapa batang lo hari ini?"

"Baru tujuh, genapin aja biar gue cepet dijemput maut."

Aku, sebuah korek api; diterima Adirga selapang hati. Nyalakan batang beracun yang pahitnya disesap khidmat seperti esok kiamat. Adirga bisa beli semua barang, tetapi ia lebih menghargai kalau diberi. Buktinya aku dipertahankan sampai hari terhitung tahun, hanya diganti isi. Aku jadi bermakna kalau dimiliki Adirga.

"Lagi pula lo anak orang kaya. Duit bakal terus ngalir walaupun lo kabur dari rumah. Gue tahu lo masih terhubung sama bokap lo. Kalau cair bulanannya, jangan lupa kasih kita ceban."

Adirga tahu anak-anak ini memanfaatkannya. Namun dia menutup mata.

_____________________

Banyak yang Adirga korbankan sampai panglima berandal jadi nama depannya. Aku meragu dia mau disebut begitu—meski acap kali membanggakannya—Adirga menganggap kalau itu cuma isapan jempol belaka. Ia tidak lebih seorang pemuda kurang adab yang punya memar bekas berkelahi. Mungkin Adirga akan lebih menyukai saat aku beri embel-embel pemuda penyuka kucing. Orang suka lupa kalau panglima berandal juga punya perasaan; Adirga cuma bocah dibercandakan dunia kelewat bajingan. Saat kamu lihat dia berjongkok di sore hari memberi makan kucing trotoar, kamu tidak akan menemukan anak bandel sama sekali. Murni bocah manis yang tersenyum saat ujung telunjuknya dijilat kucing; bulu-bulu mereka yang kelihatan lembut dielus; misau yang tampak memukau dimainkan.

"Pasti sakit, ya, nggak punya rumah," bisik Adirga pada si kucing, lebih ke dirinya sendiri.

"Sebenernya dia punya kalau lo nggak buta."

Suara asing buat Adirga menjengit, langsung lemparkan tatapan sengit. Aku yang berada di sakunya tersentak sedikit. "Siapa lo? Naksir gue sampai nguntit gini? Mau berantem?"

Dikatai begitu gadis tadi justru menukik alis. Si kucing berjalan ke arahnya. "Halu lo. Gue nggak kenal lo, kucing ini punya gue. Terhitung lo buta dua kali karena nggak bisa baca nama di kalung kucing." Sang gadis menunjukkannya dengan menggendong kucing, disejajarkan dengan muka Adirga. "Baca. K-a-r-l-a. Itu gue."

"Gue bukan anak TK yang perlu diajarin baca, anjing!"

Karla gusar. Ia gendong kucingnya lebih posesif, berdiri dari posisi mereka yang berjongkok. Adirga mengikutinya. Mereka saling berhadapan di pinggir trotoar lenggang. "Aneh lo. Udah kasih makan kucing orang sembarangan juga, ngatain lagi."

"Dih? Siapa juga yang kasih kucing lo makan. Itu gue taruh racun. Biar mampus semua kucing di sini, memperburuk pemandangan gue aja. Kucing lo juga!" Adirga membela diri. Ia mana bisa terlihat sebagai pemuda lembut penyuka kucing. Geli, gengsi.

"Gue bisa bedain mana makanan kucing bener, mana yang nggak. Lo kasih whiskas non-kedaluwarsa. Bungkusnya aja masih ada. Gue bukan dukun pun tahu."

"Sotoy lo!"

"Lo bocah paling nyebelin sedunia, tahu nggak? Jangan-jangan malu, anak yang punya lebam sangar malah kasih makan kucing lucu. Ngaku."

"Bangsat!"

"Pftt, bocah denial." Cengiran kemenangan terulas telak. Semringah Karla membawa kucingnya pergi, sisakan bisik menggelitik Adirga. "Tenang, nggak akan gue kasih tahu siapa pun. Pulang gih, mendung, bentar lagi hujan. Dari pada rintiknya minggat ke tempat lain gara-gara ogah guyur tubuh lo."

Adirga mau layangkan satu pukulan, sumpah. Sayang kata tadi keburu nangkring di pikirannya. Kapan terakhir kali ia disuruh pulang? Kapan terakhir kali ia diperhatikan? Aku hampir selalu bersamanya, dan tidak pernah ada yang mengucapkan itu pada Adirga. Sebut dia melankolis. Kapan terakhir kali ada orang memperdulikan dirinya? Dadanya bergemuruh mau lagi. Melalui kilatan mata itu, aku tahu ada yang jatuh hati.

Tokyo Revengers Fanfiction; BertautWhere stories live. Discover now