tiga; perihal rak dan buku

11 6 0
                                    

ditulis dari sudut pandang rak dan buku
sebagai sebuah benda

— & —

Ini seminggu setelah masa orientasi sekolah

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ini seminggu setelah masa orientasi sekolah. Seperti biasa, suasana di sini sepi. Aku bertanya-tanya memang kapan ruangan ini akan ramai oleh pengunjung? Minat baca di sini tidak terlalu tinggi sebab mereka bisa lakukan apapun untuk capai puncak posisi, jadi buat apa bersusah payah mengais huruf pun ilmu seperti ayam yang kais tanah akibat tak diberi sumber energi?

Aku tak pernah bisa berjalan layaknya manusia, tak bisa terbang seelok kumbang yang hinggapi bunga, pun berenang menjelajah dunia air bersama biota di dalamnya. Andai kata aku bisa, mungkin aku tak 'kan keluhkan bosan untuk yang kesekian kalinya pada jam yang berdetak di atas ventilasi udara.

Bahkan untuk sekedar lihat sosok yang sudah pasti menghampiriku beserta buku-buku ini tiap hari, kalau tidak salah namanya Laksamana Arsaka. Kudengar, ia salah satu siswa berpotensi tanpa campur tangan kebusukan pun egoisme diri yang halalkan segala cara guna sebuah prestasi. Aku rasa ribuan buku di sini pun bosan lihat bocah ini selalu kemari.

Namun atensiku terpusat penuh padanya kali ini, sebab ia terlihat bicara pada gadis yang belum kutahu asmanya siapa. Buku-buku ini pun seperti tertarik pada kejadian kali ini.

"Tumben sekali dia bicara pada wanita tanpa embel-embel formal organisasi?" Aku berujar bingung sembari tetap pantau keduanya di rak seberang.

"Tidak tahu, si wajah datar itu sudah jatuh cinta barangkali."

"Berhenti bercanda, rasanya aneh melihat dia akan mengalami hal semacam itu ketika yang ia baca sehari-hari saja buku pengetahuan yang lumayan tebal dari rak nomor lima puluh sembilan."

Ah, buku-buku ini mulai lagi.

"Diamlah, dengarkan saja pembicaraan mereka." Aku perintahkan mereka untuk menyimak, siapa tahu sesuatu menarik akan terjadi. Cukup untuk menghibur kebosanan bukan?

"Kakak emang biasa kesini?" Gadis yang tingginya sebatas bahu Arsaka fokuskan mata pada tumpukan buku yang harus ia susun pada rak di depannya.

"Yah, sekedar menghibur diri." Kulihat Arsaka lakukan hal serupa, ia sedang membantu gadis itu?

Sedang gadis itu sedikit menganga ketika dengar jawaban lawan bicara. "Gimana bisa tumpukan buku bikin pusing kaya gini disebut menghibur diri?" Bagus, aku bertanya hal yang sama denganmu, gadis muda.

"Karena sudah terbiasa mungkin?" Wah, bocah gila. Dia hanya berkutat dengan buku seumur hidupnya atau bagaimana? Tidak ingin nikmati masa remajanya kah? Sepertinya orang-orang lebih suka bermain daripada membaca barang satu halaman buku.

"Gila." Benar! Aku setuju dengan kata yang lagi-lagi keluar dari bibir gadis di samping Arsaka itu. Wah, kupikir aku dan dia punya kecocokan dalam beberapa hal.

Sementara itu, Arsaka sedikit tertawa. Aku tak bisa pastikan tapi itu lebih terdengar menyedihkan daripada tawa menyenangkan.

"Mau gimana lagi? Buat dapat atensi ga semudah itu, Karla. Bahkan prestasi kadang ga pernah cukup buat dapat hal kaya gitu."

Oh, namanya Karla? Yah, nama yang cukup indah.

"Ada yang begitu? Kalau di keluargaku, mungkin kakak udah bener-bener dibanggain bahkan dipamerin ke tetangga satu komplek." Karla berjalan menuju meja di samping Arsaka untuk raih beberapa buku yang akan ia susun kembali.

"Keren dong kalau gitu? itu berarti diapresiasi 'kan?"

"Yah, diapresiasi sih emang, cuma kalau nggak dapat apapun ya ... dipaksa." Karla pasang tawa renyah. Semua manusia memang pandai berpura-pura atau bagaimana? Lagipula apa untungnya lakukan hal munafik semacam itu?

Arsaka hentikan gerak tangannya. Ia pusatkan tatapannya pada netra indah Karla, sama-sama diam tanpa tahu apa yang harus dijadikan balasan perkataan pemilik netra tersebut.

Aku dengar, Arsaka hembuskan napas pelan lantas ambil buku di tangan Karla. "Nggak apa, Karla. Kamu udah kerja keras sampai sekarang buat dapatin itu semua, walau kadang apa yang kita usahain nggak membuat kita jadi pemenang, kamu tetap udah usaha. And i really appreciate that, istirahat dulu kalau sekiranya kamu lelah. Nggak ada yang bisa paksa kamu untuk lakukan hal yang nggak kamu mau, sekalipun itu orang terdekat kamu sendiri."

"Kak, aku nggak se-menyedihkan itu buat dikasihani sama orang yang bahkan belum kukenal selama sebulan." Keduanya hentikan kegiatan mereka, kembali larut pada angan dan pikiran masing-masing.

"Maaf." Dapat kulihat raut terkejut milik gadis itu serta sedikit gelagapan dengar satu kata sakral yang bahkan sulit diucap generasi milenial.

"Nggak gitu maksudnya, Kak. Aduh, maaf, malah aku yang jadi nggak enak sama Kakak." Tampang canggungnya benar-benar ingin kutertawakan sekarang ini.

Arsaka tautkan alisnya. "Buat apa ngerasa nggak enak?"

"Uh ... nggak tahu juga, yah intinya maaf aja hehe." Oh, dengar juga tawa canggung gadis itu pftt.

"Ah, ini ... ini udah selesai kan ya Kak? Makasih ya hehe, sekali lagi maaf banget. Sampai ketemu lain kali Kak!"

Gadis bernama Karla itu cepat-cepat lajukan langkahnya tinggalkan sulung Laksamana sendiri di tengah rak bernomor dua puluh lima dan dua puluh enam. Berpamitan pada penjaga perpustakaan lantas lari sekuat tenaga keluar dari tempat ini. Kuharap dia tidak terpeleset atau menabrak sesuatu di luar sana, sebab larinya kencang sekali.

Melihat itu Arsaka masih bergeming- ah tunggu sebentar! Dia tersenyum! Laksamana itu tersenyum, walau hanya setipis kertas, tetapi ia tersenyum!

"Lihat, yang kukatakan tadi benar! Dia jatuh hati, pada gadis itu! Kenapa kau tak percaya padaku?!"

"Aku tidak tahu jika kau benar! Jangan salahkan aku kalau begitu, dasar bodoh!"

"Tapi bukankah dia murid kelas sepuluh? Baru masuk selama seminggu 'kan? Kira-kira dia pakai cara apa sampai buat si tanpa ekspresi itu jatuh hari dalam waktu kurang dari satu bulan?"

"Kau tidak pernah tahu istilah 'cinta pandangan pertama' ya?"

"Sudahlah, berhenti membicarakan hal bodoh. Dia bukan manusia yang seperti itu." Aku coba hentikan perselisihan antar buku yang singgahi celah-celah dari diriku.

"Ah, Rak, kau ini sangat tidak menyenangkan! Kapan lagi dapat hiburan asmaraloka begini?"

"Kapanpun bisa, minta saja buku-buku novel remaja itu ceritakan isinya pada kalian. Jangan ikut campur tentang perasaan manusia, terlalu rumit."

Aku katakan ini sebab aku pernah tahu beberapa kasus serupa, hah ... manusia itu membingungkan. Yah, kalau memang sedang jatuh cinta, kuharap perjalananmu tanpa ada hambatan, Arsaka.

Tokyo Revengers Fanfiction; BertautWhere stories live. Discover now