empat; perihal tirai kelas

9 6 0
                                    

ditulis dari sudut pandang tirai kelas
sebagai sebuah benda

— & —

Kelambu belenggu ruang terkadang malas bertandang tamu. Aku lebih pilih istirahatkan bising berganti bisu. Tunggu detak jantung enyahkan remaja pulang ke dekapan ibu, buai aku leluasa tamatkan waktu dalam dekap lembayung semu. Aku selalu suka perasaan tenang; sang bayu yang membelaiku lembut, sisipan pagi buta ketika embun menyembul malu, hangat terali bagaskara menyanjung asmaraloka. Aku sekain tirai kelas yang sering mengeluh terganggu. Sayang sekali, pelajar membeludak setiap tahun semacam tiada ujungnya. Untung pada pergantian anak-anak baru masih sebaik semestinya. Biasanya kalau sudah sepuh mendekam di kelas akan lancang memainkanku, mengeluh posisiku salah, aku diseret ke sana-sini, dibuat mainan saling mencekik. Demi Pencipta Segala lagaknya! Mereka butuh dilaknat.

"Permisi wahai penghuni. Gak mau macem-macem ya, cuma nganterin pesenan cinta nih."

Akhir-akhir ini ada seseorang hobi mengusikku. Tidak sekalipun peduli ia anak baru. Aku kenali ia sebagai kelas bawah sebab perangai semerta perawakan jauh dari memadahi. Pasti bentukan siswa apatis yang tempatkan diri di kelas pojok terasing gerimis. Mulanya cuma curi pandang tak lama kemudian lekang. Esoknya terang-terangan datang. Awal hari sekali saat aku yakin biasanya anak itu teler di jam ini. Dari yang tertera di atas lambang seragamnya: aku dapati susunan kata berjahit Laksamana Adirga. Dasar anak jatuh hati. Ia letakkan teh kotak, beng-beng, dan sebungkus sari roti. Cepat-cepat tinggalkan kelas karena takut akan perkataan sendiri tentang penghuni tadi. Lucu.

"Siapa yang beliin?" Tentu saja tidak ada yang tahu. Gadis pujaan Adirga, didendangkan telinga atas suara Karla. Ia mengernyit. Perasaan Karla sama sekali tidak berusaha menarik perhatian, niatnya menyambangi sekolah murni menambang akal pikiran.

"Yaudahlah. Karena diletakin di meja gue, ya gue terima."

Sempat-sempatnya Adirga mengecek tong sampah depan kelas hanya untuk memastikan kudapan darinya telah hidangkan frasa tak kesampaian. Mendapati semuanya termakan, senyumnya mengembang kesenangan.

Adirga makin banyak tingkahnya. Selain terus-terusan menaruh kudapan berbau manis gula, ia juga diam-diam tanggalkan topi hanya untuk Karla yang lupa membawa saat upacara. Rela berdiri di barisan khusus tanpa sesal, justru terlihat enteng. Kiranya mengorbankan diri demi penakluk hati. Pura-pura menjatuhkan payung di depan kelas Karla saat hujan Januari turun dan hanya gadis itu yang tersisa. Letakkan pewangi ruangan di sudut bangku Karla, di mana benda itu menyublim buat seisi kelas berasa kebun mangga.

"Siapa nih yang nyemprot parfum di kelas? Kebanyakan, njing! Bau macam apa ini. Kobam gue kobam!"

Adirga di kejauhan tertawa.

________________________

Gosip antar benda lebih cepat beredar daripada manusia. Telinga kami ada di mana-mana. Kabar sayup-sayup bisikkan Arsaka si bocah dingin mampu cairkan senyum karena Karla. Merembet dari buku-buku, merambat melalui pintu, jatuh ditelaahku. Hanya aku yang menanggapi sepat. Diriku lebih memihak Adirga. Bagaimana perasaan bocah itu saat mengetahuinya nanti? Namun perkataanku terjawab olehnya sendiri. Kukira Adirga akan berdiam seperti pengecut mengingat selama ini rasa terpendam di belakang, nyatanya ia terang-terangan menggebrak meja saat istirahat. Tatapan berang ia lancarkan. Kabar kembali mengatakan kalau Adirga sudah lihat semua yang terjadi di perpustakaan.

Konsekuensi jatuh, harus rela remuk.

"Cowok kucing? Ngapain ke sini?" Karla mengabaikkan nyalang yang diberikan, murni penasaran. Adirga di depannya makin mengeratkan kepalan. Jelas Karla heran. Pasalnya baru saja ia akan beranjak dari tempat duduk, Adirga sematkan kunjungan bercampur kemarahan.

"Jadi lo udah tahu siapa gue?"

"Gue lihat lo waktu ospek. Nama lo juga terkenal di kalangan angkatan kita, Adirga."

"Lo cuma lihat gue!" Kalau aku punya mata, aku sudah pasti melotot sekarang. Adirga menjambak Karla. Tarikannya juga bukan main-main, ia sama sekali tidak punya rasa segan meskipun Karla perempuan. Gadis itu sontak terpekik kesakitan bercampur keterkejutan. Ia bahkan tidak mengerti apa yang terjadi.

"Bangsat lepas!"

Karla menggertak balik tangan Adirga. Ia menuruti perkataan Karla, mendorong gadis itu sampai menubruk dinding di belakangnya. Dulu aku biasa lihat adegan perundungan di kamar mandi. Bermain sembunyi. Itu pun pelaku membawa beramai teman sebab ia tidak berani sendiri. Nyali perundung biasanya patungan. Kini, walau cuma Adirga cukup untuk membuat satu kelas heboh. Kedamaianku jelas terjajah beribu kali lipat dari sebelumnya. Terkutuk Adirga. Ia raih minuman kemasan yang dibeli teman sekelas Karla, mengguyurkannya di atas kepala gadis yang tubuhnya ia tawan dalam cengkeraman. Kemudian mengarahkan sisanya pada buku Karla yang berserakan di atas meja. Semuanya ternoda lengket pemanis buatan yang pasti susah hilang. "Lo cuma lihat gue! Kenapa lo cuma lihat gue sedangkan lo bicara sama dia?"

"Gue nggak ngerti lo ngomong apa anjing!"

Kursi duduk Karla ditendang. Gema suara bantingan mencekam seluruh kelas. Semua siswa-siswi di sini tidak kelihatan berniat menolong sama sekali. Mereka lebih dari takut mendengar kalau Adirga punya embel-embel berandal. Sekali turut campur tangan, mereka bakal ikut dihabisi. Tas Karla diinjak-injak. Kemelut menyelubungi kelas ini bertambah setiap detiknya. "Apa? Kalau gitu panggil pahlawan lo. Pacar lo, 'kan?"

Dalam satu kesempatan Karla berhasil membuat Adirga mundur ke belakang. Tendangan ia layangkan pada kaki Adirga yang bergeming. Adirga mengangkat tangan, bersiap layangkan pukulan. Tarikan napas pada detik ini terasa sangat panjang. Ada tangan lain yang menahan pukulannya.

Tokyo Revengers Fanfiction; BertautWhere stories live. Discover now