enam; perihal seragam pengganti

11 7 0
                                    

ditulis dari sudut pandang
seragam pengganti

- & -

"Asli ini Adirga anjing banget kenapa sih?" Aku mulai jenuh dengar gerutu Karla

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Asli ini Adirga anjing banget kenapa sih?" Aku mulai jenuh dengar gerutu Karla. Tadi dua siswa pinta izin untuk pinjam diriku dari pengurus tata usaha. Lama aku teronggok dalam kardus, akhirnya bisa keluar juga. Kalau memilih antara cerocos Karla dan lingkup lembab dalam kardus, aku pilih yang kedua. Sial bagiku yang sudah terlanjur terjebak bersamanya. Karla disiram minuman rasa-rasa, si seragam asli bagikan kronologi sekaligus mengenalkan pemiliknya. Seragam asli jadi kumal serta lecek, aku tambah merindukan amannya dunia sempit dalam kardus. Mensyukuri kesepianku.

Usai rampung dengan urusan menata rambut, Karla bawa tas kecil yang simpan seragam sebelumnya tergesa ke kelas. Keadaan kelas terlihat habis terbombardir suatu bencana. Aku masih sulit mencerna tentang drama remaja. Namun bukankah sayang untuk dilewatkan? Hidupku terlalu udik hingga tak dengar desas-desus antar benda apa pun selama ini. "Fuyu, lihat dua Laksamana tadi nggak?"

Atensiku terebut pada seorang pria bersurai pirang dengan potongan undercut yang sibuk berkutat dengan buku di mejanya. Dia sedang belajar di jam istirahat begini? Kulihat sedikit ragu dalam sorot matanya ketika hendak ucap fakta tentang pertanyaan Karla tadi. "Kalau nggak salah berantem di belakang sekolah?"

"Nggak ada yang pisahin?" Suara Karla meninggi.

"Uh ... nggak ada yang berani Kar, bahkan beberapa katanya cuma nonton sambil sembunyi-sembunyi." Mendengarnya umpatan kembali terlontar dari bibir Karla. Ia ucap terima kasih lantas berlari terobos puluhan orang di koridor. Tujuannya jelas: pelataran belakang sekolah.

Rupanya yang jadi buah pembicaraan tengah mengadu kekuatan dengan pukulan sekaligus teriakkan makian. Karla mantapkan langkahnya dekati dua pria kekanakan. Ia ambil ancang-ancang, tanpa ragu beri tendangan pada pria rambut pendek serta panjang. Nahas tepat sasaran. Kudengar keduanya mengaduh, memar mereka pasti bertambah ngilu. Identitas di dada serukan asma Arsaka dan Adirga.

"Lo berdua ngapain sih anjing? Ada masalah? Selesaiin baik-baik bego!" Tampaknya Karla sudah kesulitan atur amarah yang sedari tadi coba ia tahan. Siswa yang jadikan ini tontonan di kejauhan terpekur dalam keterkejutan.

"Bajingan, lo apaan-apaan!" Adirga guncang bahu Karla, tak berhasil buat keberanian dalam dirinya surut begitu saja. Kobaran amarah masih tersirat dalam netra Karla, sedang Arsaka genggam pergelangan Adirga yang kelihatan membiru.

"Lo yang apaan, anjing! Lo dateng ke kelas marah-marah terus nyiram bahkan hampir mukul gue tanpa alasan yang jelas? Ngotak dong berengsek!" Karla turut tepis tangan Adirga terbantu Arsaka. Karla sambung ledakan amarah yang sudah di ujung puncak. "Lo juga kenapa tiba-tiba jadi kaya jelangkung, dateng nggak diundang terus tambah keributan, Kak Arsaka?"

Atensi beralih pada Adirga yang justru tertawa nyaring. Bocah ini gila ya? Dia baru saja diteriaki dengan alasan yang jelas bahwa ia lakukan kesalahan fatal dan ia tertawa tanpa rasa bersalah? Telunjuk Adirga diarahkan pada Arsaka yang bergeming sedari tadi. Tatapannya senantiasa mengerang marah. "Lo masih sama kaya pertama kali kita ketemu ya, Kar. Lo cewek yang pertama berani teriak ke gue gini, dan lo tahu keberadaan gue di sini. Tapi kenapa lo cuma diem aja sedangkan lo ngobrol bareng dia, ketawa sama-sama? Pacaran, 'kan lo! Sia-sia aja perjuangan sampah gue seminggu ini, anjing! Gue yang suka sama lo lebih dulu, gue! Bukan manusia sok alim modelan arsaka gini, Kar. Gue!"

"Saya sama dia nggak jalin hubungan. Namun itu berarti Karla lebih tertarik pada saya daripada bocah badung seperti kamu, Adirga." Arsaka buka mulut beri pendapat yang justru semakin memperkeruh suasana.

"Alah bacot! Jadi lo yang selama ini taruh jajan, Dir?" Karla pijat pelipisnya, pasti kepalanya sakit, kasihan sekali. "Lo berdua berantem cuma gara-gara demen gue? Sinting! Nggak ada yang mending atau gue suka, sama-sama bikin kehidupan gue jadi nggak tenang anjing! Selesaiin masalah lo berdua sebelum gue selesaiin hidup lo berdua!" Ini kalimat terakhir yang kudengar dari perdebatan tersebut, pasalnya seorang siswa yang katanya bernama Kokonoi itu terobos masuk di tengah perdebatan bersama guru konseling.

_____________

Kurasa ini sehari setelah perdebatan berbalut perkelahian panas. Sebenarnya Karla titipkan diriku pada tetangga yang kebetulan juga kakak kelasnya. Berniat kembalikan aku pada guru tata usaha sebab tak dapat ikuti pelajaran hari ini, urusan keluarga katanya. Namun yang kutahu si tetangga ini pun bukan anak baik-baik sehingga ia lempar titipan pada sulung Laksamana yang bodohnya hanya iya-iya saja. Padahal ia mendapat masa skorsing selama tiga hari, sedang si adik dapat masa skorsing yang lebih lama akibat apa yang ia perbuat pada Karla. Aku mengerut sesal. Mengenang lapuk kardus yang jadi bau sehari-hari.

"Guru sama temen-temen idiot lo di sekolah nggak akan percaya kalau seorang Arsaka nyebat." Gazebo di persimpangan jalan yang dekat dengan penjual bubur di dekat sekolah jadi tempat singgah. Sesap batang nikotin. Wajah elok keduanya penuh kapas pun hansaplast. Beberapa memar berwarna biru keunguan buat mereka benar-benar tampak seperti pentolan berandal.

"Kamu sendiri tahu kalau saya dan kamu itu sebenarnya sama aja nakalnya." Si sulung hela napas. "Saya sedikit paham tentang apa yang buat kamu marah sama saya, Adirga. Kamu nggak sepenuhnya hajar saya karena Karla. Kamu lampiasin dendam. Dengar saya sedikit, tolong?"

Tatapan pias Arsaka jauh terbang ke langit cerah. Bisa aku baca mengingat memori terdulu sama saja menelan jus duri pada hatinya. Sakit. "Dulu, Ibu tanpa ragu bawa seorang pria yang entah asalnya dari mana ke rumah. Saya hendak keluar kamar mengambil minum ketika lihat hal tak senonoh itu terjadi di ruang tamu. Kamu tahu saya masih kecil saat itu. Lantas tak berapa lama, Ayah kembali. Kamu tahu apa yang Ayah rasakan? Hancur Adirga, rumah tangga yang sebagaimana ia jaga begitu kokoh untuk tetap berdiri justru dirobohkan oleh seseorang yang begitu ia limpahi dengan cinta. Kalau nggak salah, kejadiannya waktu kamu menginap di rumah Kakek."

Arsaka beri jeda, sedang Adirga tetap simak kalimat yang lebih tua. "Sejak saat itu Ayah jadi lebih tempramental sama hal-hal yang menyangkut Ibu. Sama aja Ibu yang jadi lebih berani tunjukkan pria tadi di depan mata Ayah. Saya tahu perbuatan saya salah biarkan Ayah lemparkan barang-barang atau berani kasari Ibu. Cuma saya paham, Ayah kepalang sakit hatinya."

"Maaf ...." Kata terakhir Arsaka buat ia tertunduk, sesak merasuki dadanya. Ia ingin luapkan air mata tetapi sang adik sedang berada di depannya. Bagaimana ia mampu? Arsaka-lah yang harus jadi penopang karena sulung jadi sandang. "Maaf buat diem aja selama ini."

Lihat dunia, sepasang saudara yang kalian coba pisahkan selama ini kembali menguak luka untuk saling mengobatinya. Aku yang cuma benda asing bisa rasakan gelenyar tersentuh. Tanpa raugan tangis, anak laki-laki bisa salurkan kepedihan lewat genggaman tangan. Aku sekarang mengerti. Ini bukan cuma sekadar drama picisan remaja. Ini kisah ayal berharga.

Adirga tidak sungkan lagi sandarkan kepala pada bahu Arsaka. "Gue sayang sama Ibu, sangat. Lo tahu gue anak Ibu. Bagian diri gue tersusun dari wanita itu. Walaupun dia selingkuh, tadinya Ibu pernah sayang banget ke gue. Lo mengecewakan dengan ngabaikkin gue setelah itu, ditambah Ayah."

"Ayah yang buat gue keluar dari rumah, Kak. Ada malem di mana gue nemuin dia gumam nggak jelas waktu mabuk; Ayah sebut kalau wajah gue selalu ngingetin sama Ibu. Netra kami mirip." Entah sejak kapan Adirga berani ucapkan embel-embel kakak lagi. "Lo tahu? Ibu nggak pernah peduli sama gue setelah dia nikah sama pria itu. Dia cuma peduli sama anak dan suami barunya. Sampai gue masuk ke lingkaran setan pergaulan dia nggak ambil gubris. Ibu cuma manjain gue dijejal fasilitas. Padahal ... padahal yang paling gue butuhin cuma afeksi dan kasih sayang dia macam sebelumnya. Gue salah buat minta hal itu emang?"

Arsaka tatap netra si bungsu, keduanya sama-sama menyiratkan luka. "Gue ngerasa sendiri. Gue punya keluarga, tapi gue nggak ngerasa gue punya. Kenapa? Gue cuma sebatas nakal jailin kucing orang, rusakin mainan lo, nggak pernah ngerjain PR guru. Gue nggak pernah bunuh orang. Kenapa Tuhan hukum gue segini beratnya?"

Arsaka jatuhkan putung rokok miliknya dan Adirga. Lindas benda sumber penyakit itu menggunakan sepatu. Aku lihat sorotnya penuh dengan harap-harap cemas juga rasa rindu yang membuncah. "Kamu punya saya sekarang. Kita sama-sama salah buat egois tanpa mau mengerti gimana posisi satu sama lain. Kita cuma remaja, Adirga. Jadi baikan?"

"Bajingan sebat gue-iya baikan." Adirga tersenyum lebar.

"Apaan anjing?! Jauhan lo!" Belum sempat semenit berbaikan, Adirga teriakkan hal tersebut pada Arsaka tatkala ia peluk sang adik dengan erat.

Dasar saudara.

Tokyo Revengers Fanfiction; BertautWhere stories live. Discover now