tujuh (terakhir); perihal semesta raya

17 7 0
                                    

ditulis dari sudut pandang semesta
sebagai akhir dari perjalanan ini.

— & —

Semua manusia akan berarak surut pada Esa

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Semua manusia akan berarak surut pada Esa. Bagaimana mereka lahir, hidup, dan mati; berbahagia, bersedih, dan berduka. Semuanya terekam dalam jejak-jejak kenangan yang mereka tinggalkan pada semua benda. Alam raya cuma jadi saksinya. Arsaka, Karla, dan Adirga. Aku kenal mereka dari desau kekhawatiran jaket denim yang ditinggalkan, penyulut keretek dijaga mati-matian, jas pada pemiliknya menahan kekalutan, buku-buku aksara terpati bosan, tirai kelas pendamba kedamaian, pena tersaruk kelelahan, lembab kardus dari seragam pengganti rindukan. Terakhir aku: dunia sebagai penaungan dalam penderitaan.

Adirga sering keluhkan aku jahat padanya. Padahal semua kesalahan tiap hamba terbuah dari perbuatan tiap-tiap raga. Manusia selalu cari objek buat disalahkan sementara enggan lihat cermin sendiri atas perbaikan. Berbukti banyak sekali. Contoh perbuatan gegabah Adirga yang ceritakan Karla pada temannya. Sebelum akhir bahagia, sebelum mereka berdamai putuskan lewati terjangan bersama. Masa benar-benar putus asa. Maklum, pengalaman pertama jatuh cinta. Pipinya bersemu merah jambu. "Kalau pengen deket sama cewek, nggak suka kalau cewek itu sama cowok lain, namanya apa?"

"Suka. Lo lagi suka seseorang, lo cemburu."

Wajah Adirga mengerut tidak suka disebut begitu. "Dia bikin gue sakit hati dengan berhubungan sama Kakak bangsat gue yang nggak seberapa itu. Gue suka dia tapi gue pengen siksa dia."

"Yaudah tinggal siksa aja." Teman banyak dosa itu angkat kedua belah pundak atas dada memirau derita. Siap jebloskan Adirga ke palung neraka terbangun atas gejolak air mata. "Sini biar gue lihat foto cewek yang berhasil naklukin lo, Adirga. Siapa tahu kalau ketemu bisa gamblangin penderitaan."

Raut Adirga kelihatan kalap. Masih percaya pada para teman penentang aku; takdir pengembara kehidupan. Ia tunjukkan cuma-cuma foto Karla diambil tanpa izin selipan sekolah. Muka Karla diingat jelas oleh teman Adirga. Jelas sekali, hingga kini muka itu terpampang di depannya kala tawuran. Karla tengah tersesat sendirian saat putuskan menerobos kerumunan. Ia bisa membela diri, tetapi kalah jumlah. Raut gadis itu tak bisa sembunyikan keputusasaan depan mata. Teman Adirga menyapa, "Wah, siapa nih cewek cakep? Bener, musuh Panglima Berandal kita. Sekalian habisin aja?"

Lucu. Aku sebagai semesta tertawa.

___________________

"Gue udah beresin cewek lonte yang kemarin mainin lo." Suara menyebalkan menyapa telinga Adirga saat dering telepon di angkat. Aku tahu, saat Adirga sudah bersama Arsaka, sebenarnya dia enggan berhubungan lagi bersama kawan lamanya. Namun teman adalah teman, apalagi bagi remaja. Adirga tahu ia juga berhutang budi.

"Cewek? Cewek yang mana dah, njing?"

"Lo bilang namanya Karla."

Mata Adirga membulat sempurna. Ia tanpa sadar menahan napas, jantungnya mencelus saat itu juga. Sempat Adirga berdiam diri tanpa lakukan apa pun selama beberapa lama. Akhirnya ia membanting ponsel ke sembarang arah, meneriakkan nama Arsaka dalam jerit pilu. Keduanya berusaha menyisir daerah dekat tempat tinggal mereka yang biasa dijadikan tempat tawuran, pun Adirga sudah hapal mana saja titiknya. Dikejar waktu, napas memburu, jantung bertalu. Baik Adirga maupun Arsaka bisa sangat ceroboh saat panik. Bibir mereka tak berhenti sebutkan nama Karla berulang, mengumpat, Karla lagi, begitu seterusnya. Wajah khawatir sama-sama khawatir ditambah keringat dingin membanjiri. Adirga menggigit bibir, semoga saja, semoga saja belum terlambat. Atau dia akan menyalahkan diri sendiri selamanya.

"Minggir bangsat, tolol lo semua! Karla!" Semoga tetap jadi semoga. Sampai di sana, polisi telah amankan tubuh beberapa korban. Beberapa pelaku dari tawuran sendiri, beberapa cuma orang tak bersalah yang cuma salah lewat tetapi terkena lemparan parang. Pemandangan yang menyambut Adirga menuju masa lalu. Di deretan tubuh tergeletak mereka, gadis yang dicari ada. Karla ada di sana. Adirga menangis. Arsaka tumpahkan kesedihan pada rematan tangan di baju sang adik.

Mereka memaksa serobot palang pembatas pembuktian. Aparat yang berusaha menghentikan bahkan terenyuh. Arsaka dan Adirga tak sanggup. Ini terlalu tiba-tiba. Gadis itu, gadis yang beberapa hari ini telah temani dua bersaudara lewati hari mereka. Kini ia berbaring di atas genangan darah. Luka tusukan ada di perut serta dada, wajah beserta luka gores melintang menodai kecantikannya. Pelan Adirga bawa tubuh itu ke pelukan. Sama sekali tidak takut tangan dan bajunya bersimbah cairan merah. "Hey ... seharusnya kalau lo gue peluk begini, protes. Lihat! Gue peluk lo tanpa izin! Protes, Karla! Jangan diem aja!"

Arsaka tidak kuasa bendung tangisnya. Ia mengelus bahu sang adik dari samping, berusaha menerima. "Dia nggak akan bangun lagi, Adirga."

"Bohong! Lo bohong, Kak!" Tangis Adirga makin menggugu. Dekapan pada tubuh dingin itu mengerat. "Lo jangan diem aja makanya, Kar. Bajingan ... seharusnya dada lo ada yang detak, seharusnya tubuh lo hangat. Kenapa lo diem aja?"

Jemari Adirga burai helai rambut Karla yang terkotori debu. Ia membersihkannya, kalau bisa Adirga juga ingin bersihkan semua luka yang Karla dapat sekarang. "Rambut lo cantik, mata lo cantik. Lo belum pernah denger gue ngomong itu, 'kan? Yang keluar dari mulut gue cuma cerca. Lo mau apa? Bilang sama—gue beliin teh kotak, beng-beng, sari roti se-Indomart-nya, Karla ...."

"Adirga, udah." Arsaka putuskan turut temani Adiknya dalam relung keterpurukan. Ia juga mendekap tubuh mereka berdua. "Udah, udah ya, udah."

"Berengsek, lo bahkan nggak ngebiarin kita berdua bersaing dapetin lo secara adil!"

Tiga tubuh saling berpelukan. Dua jantung di antaranya berdetak, yang lain sudah terhenti beberapa menit lalu. Hanya mayat yang membujur kaku. Tangis Adirga dan Arsaka saling bersahutan. Beban yang mereka pikul baru saja menghilang satu, sementara kini rasanya dunia kembali runtuh di atas kepala. Dihantam lagi oleh kenyataan; kehilangan. Dua-duanya pernah dihadapkan pada kehilangan seorang ibu. Kini, kehilangan lagi tetapi dihadapi bersama, bukan sendiri.

Seberapa besar usaha berkuat diri lari dari kejaran luka, aku semesta bersumpah mereka bukan pemilik akhir bahagia.

TAMAT.

Tokyo Revengers Fanfiction; BertautWhere stories live. Discover now