18. On The Hill

10K 1.1K 41
                                    

Javas menikmati keterdiamannya setelah mendengar celetukan Ola ketika istirahat tadi.

Suka?

Rasanya lelaki itu ingin berteriak tidak. Namun ia malah diam saja. Mengabaikan Ola yang sejak tadi berceloteh ini itu. Tampaknya tenaga gadis tersebut telah pulih setelah menghabiskan sebatang coklat dan setengah botol air mineral.

Mereka kembali berjalan seperti posisi awal. Ola di depan dan Javas menyusul sambil sesekali memegangi punggung gadis itu saat jalannya melambat.

"Finally!!"

Seru gadis itu dengan nyaring begitu kakinya menginjak bagian teratas bukit.

Sebenarnya Javas agak malu. Ia memejamkan mata dan menghela napas dalam-dalam kala melihat para pendaki yang lebih dulu sampai menatap ke arah mereka.

Ola hanya cengengesan, seperti tidak ada malunya.

"Kirain sepi," gumam gadis itu. Ia menoleh ke arah belakang, tepatnya menatap Javas. "Kok ada orang?" Tanyanya.

"Ya Mbak Ola pikir aja, ini kan memang area untuk dikunjungi." Jawab Javas dengan ketus.

Gara-gara celetukan yang Javas rasa sebagai tuduhan sembarangan itu, ia sedikit sensitif. Apalagi tatapan mata penuh selidik yang Ola keluarkan sungguh membuat Javas ngeri.

Baginya, semakin lama, mata Ola semakin mirip dengan wanita yang sampai detik ini berhasil membuatnya selalu mimpi buruk.

"Mas!" Itu suara Gita.

Gadis itu melambaikan tangan dengan semangat. Tampak Jovan dan Jevin sibuk membangun tenda seratus meter dari tempat Ola dan Javas saat ini.

"Ayo," ajak lelaki itu kemudian. Kali ini berjalan lebih dulu menghampiri para adik.

Harus ia akui, bahwa adik-adiknya memilih lokasi kemping yang tepat. Tenda mereka mengarah ke Desa Lembah. Cukup dekat dengan tebing. Lalu tepat di seberang sana, puncak Gunung Rinjani berdiri menjulang.

Tepat di pukul tiga sore, dua tenda telah berdiri kokoh saling berdampingan. Sebuah meja lipat pendek terpasang di dekat tenda para lelaki. Di atasnya ada kompor juga panci masak air.

Jevin yang bertugas menyiapkan makanan pun mengeluarkan bahan-bahan makanan dari dalam ranselnya.

"Wah, spaghetti." Celetuk Ola. Gadis itu tampak sangat takjub. "Saya kira kita bakalan makan mie instan."

Penuturan Ola sontak saja membuat Javas tertawa. Padahal kalau dipikir lagi tidak ada hal lucu. Pertanyaan Ola wajar sekali. Apalagi mie instan jelas lebih simpel dibuat daripada pasta dan kawan-kawannya.

Gadis itu pun menatap Javas dengan kening mengerut.

"Nggak elit makan mie instan. Lagipula bumbunya yang penuh pengawet itu bisa bikin kita lebih cepat haus. Sementara di atas sini, kita perlu hemat air." Jelas lelaki itu kemudian.

"Oh gitu?" Malah Jevin yang menanggapi. Maklum saja, adik Javas yang satu itu sebenarnya bukan anak luar ruangan. Hanya ikut-ikut saja untuk senang-senang. Saat Javas bilang bawa bahan makanannya jangan instan, ya ia menurut.

"Apa bedanya sama saus yang kita bawa. Itu juga ada pengawetnya." Ola tampaknya tidak mau menerima begitu saja penjelasan dari Javas.

"Sausnya dibuat sama Mas Javas, Mbak. Itu dari tomat asli yang dimasak sama gula dan bumbu rempah." Kali ini Jovan angkat bicara.

Mata Javas melirik ke arah Ola yang membisu. Gadis itu tampaknya tidak bisa lagi membalas atau mementahkan ucapan Javas.

Seperti itu dibilang Javas suka?

Imperfect Perfection (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang