52. A Little Regret

8.4K 951 79
                                    

Betapa menyesalnya Ola menyusul Javas untuk ikut lelaki itu pulang ke kampung halamannya. Otaknya sama sekali tidak berpikir dengan konsekuensi yang akan dia terima saat sampai nanti. Akibat terburu-buru, gadis itu lupa kalau seluruh keluarga Javas pasti ada di rumah.

Seluruh ini bukan hanya keluarga inti. Pastinya akan ada anggota keluarga lain seperti om, tante, juga para sepupu Javas.

"Nanti kalau sudah sampai sana gimana?" Gadis itu menyuarakan keresahannya.

"Ya tinggal say hi sama yang lain," tanggap Javas dengan santai.

Mereka sudah berada di pesawat yang baru lima belas menit lepas landas.

Beruntung, orang yang tadinya satu deret bangku dengan Javas dan Lily mau bertukar tempat dengan Ola. Jadi, gadis itu bisa duduk bersama Javas dan Lily.

Lucu kalau ingat bagaimana Javas meminta pria paruh baya yang tadi duduk di sebelahnya untuk bertukar posisi dengan Ola, gadisnya.

"Tadi pas check-in kami nggak bareng, Pak. Ini si kecil kalau bundanya nggak ada juga pasti rewel," kata Javas ketika membujuk pria paruh baya teman duduk lamanya.

Ola yang mendengar tidak protes. Malah mengangguk sebagai bentuk mendukung kebohongan Javas. Untungnya Lily sudah tertidur begitu mereka masuk pesawat, hingga tidak ada celotehan yang berpotensi membongkar kebohongan mereka.

Alhasil, kini Ola bisa bergabung dengan Javas dan Lily di satu deret bangku yang sama.

"Say hi? Nggak segampang itu, Mas. Gimana kalau saya salah ngomong? Gimana kalau..."

Gadis itu teringat dengan papanya Javas. Pasti sulit untuknya bisa diterima lagi dengan tangan terbuka di keluarga itu.

Ketakutan itu menghantui Ola. Kemudian rasa takut berubah menjadi penyesalan akan keputusan spontan yang tadi dibuatnya.

"Nggak usah main tebak-tebakan gitu. You can do it, Mbak," tutur Javas.

Ola menatap Javas, "terus nanti saya harus memperkenalkan diri sama yang lain sebagai apa?"

Ini masalah penting. Status mereka sangat tidak jelas. Tidak mungkin Ola tiba-tiba datang dan mencoba mengakrabkan diri padahal hanya kenalan biasa Javas.

"Lah... harus banget dipertanyakan? Jelas Mbak Ola itu dokter patah hati saya." Javas mulai bergurau. Tidak lupa kekehan kecilnya ia pamerkan juga.

"Ini serius, Mas," ucap Ola. Ekspresinya datar, tanda bahwa ia sedang tidak ingin bercanda.

Lelaki itu akhirnya memasang tampang serius juga. Sebelah tangannya meraih jemari tangan Ola untuk digenggam.

"Ya apa lagi kalau bukan calon istri saya." Javas kemudian tersenyum kecil.

"Sejak kapan saya jadi calon istri situ?" Ola menarik tangannya agar terlepas dari genggaman Javas.

"Saya nggak mau bikin lamaran sok romantis. Nggak ada waktu, Mbak. Dua jam lagi kita ketemu sama keluarga saya di sana," jelas Javas. "Lagipula saya udah lamar Mbak Ola tujuh tahun lalu. Seingat saya, nggak ada penolakan juga."

Mode menyebalkan Javas sedang aktif. Namun, anehnya Ola setuju saja karena ujarannya terdengar masuk akal.

"Ya udah, terserah deh." Ola mengalah. Gadis itu tidak ingin berdebat dalam perjalanan seperti ini.

"Mbak, beneran? Ini saya nanti bilang calon istri. Berarti memang harus jadi istri loh ya. Nggak boleh mangkir atau pergi diam-diam." Javas sekali lagi memastikan.

"Mas Javas pikir aja. Saya sampai nyusulin ke bandara, beli tiket, terus ikut pergi tuh tendensinya ke arah mana?" Ola mencebik.

"Ya... who knows. Dulu Mbak Ola juga kecup bibir saya. Saya kira kode buat segera dihalalin, ternyata malah kecupan perpisahan," sindir Javas.

Imperfect Perfection (Complete)Where stories live. Discover now