Sangkakala
Chapter 10Januari masuk ke ruangannya sendiri yang besar dan megah. Mejanya yang berwarna putih hanya ada sebuah macbook tertutup. Januari membukanya tapi gak tahu kudu ngapain. Selama ini dia suka mengintip Jesen. Ngapain aja sih di depan laptop? Januari hanya melihat bagan-bagan rumit tanpa mengerti apa yang sedang dikerjakan abangnya itu. Januari juga sering mengintip layar laptop istrinya. Kebanyakan berisi disain baju dengan detil-detil yang harus dibahas dengan disainer. Terkadang dilihatnya istrinya menonton fashion show dari berbagai belahan dunia. Masa Januari harus pelajari hal itu juga?
Seseorang mengetuk pintu ruangan, Januari mempersilahkan. Ob masuk ke ruangan membawa jaket yang tadi dia lempar.
"Ini dari Bu Olin." ucapnya sambil meletakkannya di atas meja.
"Bu olin ada di mana?" tanya Januari.
"Saya tidak tahu, Pak! Sepertinya pergi tadi." Ob melapor lalu keluar ruangan.
Januari berdiri dan memakai jaket yang tadi dia lempar lalu berkaca di depan sebuah lemari yang bisa memantulkan bayangan. Dia sekarang memakai setelan blazer berwarna abu-abu dengan detil rumit di dada dan garis merah di lengan. Celananya juga abu-abu dengan potongan yang sangat pas buat kakinya. Tidak longgar tapi juga tidak ketat. Bajunya ini keluaran terakhir dari produk OJ diberi judul Besi Merah. Rambut Januari tegak ke atas hasil blow penata rambut setiap harinya. Highlight silvernya masih terlihat menyala. Januari sebal banget melihat pantulan dirinya.
"Gue baru tahu kalau selera lo brondong dandan." Januari teringat perkataan penjahat yang nyulik istrinya. Perasaan marahnya kembali hadir. Kenapa sih istrinya kok melepaskannya? Padahal Januari udah gak sabar mau menghajarnya.
Januari kembali membuka macbook untuk melihat jadwal kerja yang dibuatkan istrinya. Sore itu dia free, tidak ada meeting. Januari membuka jaketnya dan memasukkan ke tas gemblok yang sekarang dipakai di punggungnya. Dikencangkan tali sepatu berlarinya yang juga brand OJ. Dia ingin pulang ke rumah papa untuk bertemu babydin.
*
Olin sore itu memeriksa Black Sky sekalian bertemu Adelio yang sepertinya perlu diajak bicara. Olin merasa malu dengan Jesen karena Adelio bukan keluarga Anwar tapi menuntut lebih pembagian share. Dia ingin gebugin adeknya yang satu itu yang tidak tahu berterima kasih sudah diberi kesempatan besar.
Adelio masuk ke ruangan Olin di Black Sky dengan wajah muram.
"Del, jangan bikin malu keluarga kita. Jangan menuntut share lebih besar lagi karena sebenarnya itu adalah milik keluarga Anwar." Olin menasihati.
"Mbak jangan bodoh. Kita berdua yang capek kerja, masa keluarga mereka yang jadi pemilik perusahaan?" Share Mbak cuma 30 % kan? Harusnya mbak lebih dari 50 % dan gue juga gak adil kalau hanya dikasih 5 % aja. Kerjaan gue sama Mas Jabi, Jora dan Ojan jauh lebih berat." Adel tetap gak terima. Olin menghela napas.
"Adelio, ide itu lebih mahal daripada pekerja. Darah juga lebih kental dari pada boba. Ide mendirikan perusahaan itu adanya di Jesen. Niat dia pun untuk memajukan adik-adiknya. Kamu datang belakangan, Adelio. Kamu tidak berhak mengklaim share lebih besar tanpa mengeluarkan modal."
"Kalian semua juga gak ngeluarin modal." Adelio masih menuntut.
"Setelah investor besar datang. Tapi sebelumnya semua ngeluarin modal termasuk Jora. Kamu kan enggak. Please Adel jangan bikin malu gue. Bukannya nikmat jika sekarang lo bisa handle dapur sendiri? Biasanya kan lo cuma sous chef." (Asisten chef)
Adelio terdiam.
"Begini aja, perusahaan kasih lo mobil, nanti potong gaji tiap bulan. Okay?" Olin menawarkan kesepakatan.
