Tidak perlu menunggu kaya

251 40 6
                                    

Gradasi langit di atas sana membuat cowok tampan itu mengadahkan kepala lamat-lamat, Bandung sore menjadi langit favorit Rajendra Sajora sejauh ini.

Langkahnya terus melaju menyusuri daerah Braga. Jikalau sepedanya tidak merajuk Ia akan menyusuri sudut-sudut Bandung dengan Sepeda pemberian Kakek. Langkah ringkih Rajendra terhenti saat melihat seorang nenek sedang memunguti kue.

"Saya bantu Nek."

"Hatur nuhun Ujang."

Gigi-gigi yang tidak utuh lagi, itu terlihat sangat jelas di mata Rajendra namun wajahnya begitu damai tenang. Seperti wajah Almarhum nenek Jendra, setiap kali Ia berkunjung ke rumah, nenek selalu menyambut anak dan cucu-cucunya dengan suka cita dan kasih sayang.

"Nenek mau kemana? Bawa kue nya banyak banget."

"Nenek Jualan tapi dari pagi nggak ada yang beli."

Hatinya terenyuh mendengar itu, Rajendra mengeluarkan uang dari saku seragamnya membuat si nenek menatap heran."Saya beli semu kue nya, ini uang nya."

"Uang ini terlalu banyak."

"Nggak papa saya ikhlas."

Senyum sang nenek terbit di sela-sela Senja tenggelam di langit Bandung raya, Membatu sesama manusia tidak harus menunggu kaya. Itu prinsip yang Rajendra pegang dalam hidup.

"Dari mana saja kamu Rajendra Sajora!?"

Demi Tuhan jantung Jendra seakan lepas dari tempatnya Ia tidak bermaksud pulang telat namun Jendra tidak tega melihat nenek penjual kue tadi pulang sendiri alhasil Ia mengantar nenek itu sampai ke rumah dengan selamat.

"Assalamualaikum Ayah."

Usai menyalami Ayah, Rajendra dapat melihat Lulut terdiam anteung di depan televisi sembari menyedot susu kotak, melihat adik nya membuat dada Jendra menghangat.

"Rajendra!"

"EH iya Ayah, kenapa? Maaf Jendra pulang terlambat tadi ada sedikit urusan di jalan."

"Ikut Ayah ke ruang kerja."

Ruang kerja?

Ruangan yang menjadi saksi luka-luka itu hadir. Dan benar saja sesampai nya disana Ayah mencambuk Jendra tiada henti. Rajendra tidak tahu kesalahannya kali ini dimana?

"Aya...h?"

"Anak kurang ajar! Kamu membuat Renjana terkena masalah! Kakak kamu sampai di panggil ke ruang kepala sekolah!

"Aku nggak tahu apa-apa."

PLAK!

Pipinya terasa perih dan kebas saat tangan kekar Ayah menampar pipi kirinya, tangan yang dulu mengelus kepala Rajendra dengan sayang tangan yang dulu memeluk tubuh Rajendra dengan hangat.

"Jangan cari alasan! Baron sudah menjelaskan semuanya! Kalo sudah tahu bodoh, belajar! Bukannya ngambil makalah orang!"

Baron? Makalah?

Konspirasi macam apa yang Baron main kan? Lagi, cambukan dari ikat pinggang itu mengenai punggung Rajendra untuk kesekian kali. Sekuat apapun Ia meraung dan menjelaskan Ayah tidak akan percaya orang-orang di rumah ini juga menutup telinga, mereka tidak peduli seakan teriakan dan rintihan itu layak untuk Rajendra Sajora dapatkan.

Di luar sana Renjana mati-matian untuk tidak menerobos masuk ke dalam, Ia tidak mau jika Ia masuk kembarannya akan semakin terluka.

"Kak Jana? Ngapain di situ? Sini bantuin aku kerjain Pr."

"Kakak mau masuk..."

Si bungsu merotasikan mata malas,"Kakak mau ayah makin marah? Lebih baik kita jangan ikut campur. Ayo ikut aku ke kamar, besok ada ulangan harian."

•••••

BRUK!

"Anjing! Kalah." Baron melempar stik PS ke sembarang arah, Ia menatap nyalang kepada Naradipha.

"Kakak kenapa fitnah Rajendra ngambil makalah Kakak?! Jelas-jelas makalahnya ketinggalan di rumah."

"Oh ketinggalan."jawab Baron acuh.

Dengan santai Baron bejalan ke atas kasur sibuk mengutak-atik handphone keluar terbaru yang baru-baru ini di belikan Ayah tirinya. Sadewa memang sangat royal kepada keluarga, tidak salah penampilan adik tirinya seperti tuan putri kerajaan.

"Baron!"

Naradipha geram dia merampas handphone Baron secara paksa,Ia tidak suka melihat Rajendra di fitnah seperti ini, apalagi menyangkut Akademik, Naradipha tahu Andromeda; Ayah Rajendra sangat disiplin soal pendidikan.

"Kenapa sih?! Lo Suka sama dia? Sampe segininya ngebelain Rajendra?"Tubuh Naradipa membeku saat Baron mendekat ke arahnya.

Satu tahun menjadi keluarga, tidak mudah untuk Naradipha menerima semua itu, sangat berat. Ia terbiasa sendiri di rumah tiba-tiba saat bulan Desember datang seharusnya Ia merayakan pergantian tahun bersama Papa seperti biasa, menyalakan kembang api di halaman rumah bersama Rajendra dan Kenzie mendadak menjadi bulan yang tidak mau Naradipha ingat kembali.

Papa membawa perempuan lain ke rumah mengenalkan dia sebagai ibu baru, bukan hanya itu perempuan itu membawa anak laki-laki yang umur nya satu tahun di atas Naradipha, itu semakin membuatnya kesal. Ia tidak mau memiliki sodara Ia anak satu-satunya Tuan Sadewa tidak ada lagi hanya Naradipha.

"Itu bukan urusan Lo Baron! Yang gue tanya kenapa Lo lakuin itu sama Jendra? Dia punya salah apa? Om Meda pasti siksa Jendra habis-habisan."

"Itu tujuan nya! Itu yang gue mau."

Baron semakin memojokkan Adik tirinya, punggung Naradipha dingin menghantam tembok." Temen gue punya salah apa sama Lo?!"

"Nggak ada, kembarannya yang angkuh itu yang nyari masalah sama gue."

Bayangan Renjana meremehkannya di depan semua guru memenuhi isi kepala saat ini. Dada Bron kembali bergejolak ribut, ia tidak terima di olok-olok seperti itu.

"Lo marah sama Jana karena nggak bisa nyaingin dia? Kekanakan! Kalo Lo mau bersaing, bersaing secara sehat jangan libatin Jendra di dalam nya."

"Berisik! Anak nakal harus di hukum."

.
.
.
.
.
tbc

2. 10.2O22

Republish: 2 Januari 2O23

Photograph✓Where stories live. Discover now