1. HP

76 12 12
                                    

Kikan kecil cuma tahu benda elektronik itu bernama HP. Fungsinya untuk main game dan selfie. Ia meminjamnya dari bunda hingga bunda sering geleng-geleng kepala saat menemukan galeri fotonya penuh dengan pose-pose centil sang putri semata wayang.

Tapi itu tidak berarti bunda membebaskan Kikan untuk menggunakan HP-nya sesuka hati. Bunda tetap punya aturan tegas tentang pemakaian HP itu. Kikan baru boleh main pada sore hari. Kikan cuma boleh main selama satu jam. Dan kalau bunda butuh HP itu, Kikan harus mengembalikan. Bila aturan itu dilanggar, Kikan dilarang bermain HP selama seminggu.

Untungnya tidak sulit mengatur bocah penurut seperti Kikan. Sejak hari pertama meminjam HP bunda, tak pernah sekali pun ia melanggar aturan itu.

Pengetahuan Kikan tentang HP bertambah kala ayah dan bunda menjemputnya dari PAUD. Sementara ayah harus menemui rekan bisnisnya di suatu tempat, bunda dan Kikan menghabiskan waktu di mal sembari menunggu ayah menjemput.

Dua jam setelah berbelanja di supermarket dan singgah sebentar untuk menikmati es krim kesukaan Kikan, keduanya beranjak ke lobi dan menunggu. Namun ayah beserta mobilnya belum juga tampak hingga bunda mengeluarkan benda yang sudah Kikan kenal itu dari tasnya.

Kikan cuma mendongak dan memperhatikan ketika bunda mengetuk layar HP itu beberapa kali. Ia tahu ini bukan waktu bermainnya, karena itu ia hanya diam dan tak menagih.

"Ayah di mana?" bunda bicara pada HP itu. "Oh, Bunda sama Kikan udah di lobi ya, Yah."

Setelah benda itu kembali memasuki tas bunda, Kikan melontarkan pertanyaan kritisnya, "Bunda ngomong sama Ayah?"

"Iya," bunda menjawab singkat.

"Memangnya Ayah ada di dalam HP?"

Bunda terkekeh geli mendengar pertanyaan polos putrinya. Sementara bocah itu hanya menatapnya bingung, kenapa bunda malah mentertawakan pertanyaannya.

Namun setelah kekeh panjang itu, bunda baru memulai penjelasannya, "HP itu bukan cuma untuk main game dan motret, Sayang. Tapi juga sebagai alat komunikasi. Kalau Bunda sama Ayah sedang berjauhan, kami masih bisa ngobrol dengan alat ini."

"Kikan juga bisa ngobrol sama Ayah pakai HP?" tanya bocah itu lagi.

"Bisa. Jadi, kalau Ayah sedang di luar kota, Kikan kangen, Kikan tetap bisa ngobrol sama Ayah."

"Tapi tadi, 'kan, Ayah lagi gak di luar kota."

Dengan senyum, bunda menyahut sabar, "Meskipun Ayah gak di luar kota, kita juga tetap bisa ngobrol. Misalnya kita lagi jalan-jalan di mal, terus Bunda kepisah sama Ayah, Bunda bisa nelepon Ayah supaya Ayah nyusul ke tempat Bunda."

Mulut bocah itu membentuk huruf O tanpa suara, tanda mengerti. Ia pun mulai percaya HP bisa digunakan untuk mengobrol dengan ayah ketika tak lama kemudian lelaki itu datang menjemput.

Hanya saja ada satu hal tentang HP yang tak dipahami Kikan ketika neneknya meninggal. Ia pun tak mengerti kenapa bunda terus menangis di depan jasad nenek yang ditutup kain batik itu. Bahkan ketika para tamu tak berhenti berdatangan, bunda tampak tak sungkan menunjukkan air matanya.

Akhirnya Kikan memberanikan diri bertanya, "Nenek kenapa, Bun?"

"Nenek mau 'pergi' ke surga, Nak," sahut bunda.

"Terus, kenapa Bunda nangis?"

"Karena kita gak akan ketemu Nenek lagi."

"Oh, kalau gitu Nenek disuruh bawa HP aja, Bun. Jadi kita masih bisa ngobrol sama Nenek."***

--------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------

Oops! Ang larawang ito ay hindi sumusunod sa aming mga alituntunin sa nilalaman. Upang magpatuloy sa pag-publish, subukan itong alisin o mag-upload ng bago.

A.D
Bandung, 8 Februari 2022

ScrapbookTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon