7. One Extraordinary Day

13 1 0
                                    

Chandra tinggal di suatu kompleks perumahan kelas menengah ke atas bersama istrinya, Anette, dan putri tunggal mereka, Celia. Kompleks itu cukup sepi karena para penghuninya selalu sibuk dengan urusan masing-masing dan hanya keluar seperlunya. Chandra juga hanya mengenal beberapa dari mereka. Itu pun hanya sebatas nama, supaya bisa saling menyapa. Paling banter mereka akan bertanya "Sedang apa?" bila menemukan Chandra sedang membaca di teras seperti sore itu.

Setiap sore, ia memang selalu duduk di teras untuk menunggu Anette pulang dari kantor atau latihan pilates sambil membaca buku dan menikmati secangkir teh melati buatan Bi Nining. Pada sore hari adalah jadwalnya si bibi menonton infotainment. Jadi ia mengalah dengan mencari ketenangan di luar. Toh kendaraan yang melintas juga tak seberapa, tak akan mengganggu konsentrasinya.

Namun sore itu, ia merasa suasana di sekeliling tak sesunyi biasanya. Lamat-lamat ia mendengar suara beberapa wanita tengah mengobrol. Kezia, balita di rumah sebelah, terdengar merengek keras. Dan yang lebih kentara, Ibu Salwa--tetangga depan--tak terlihat di balkon sedang berlatih yoga dengan mengikuti gerakan dari YouTube. Tumben.

"Pak."

Chandra menoleh. Bi Nining muncul dengan nampan berisi secangkir teh yang sudah ditunggunya cukup lama.

"Maaf. Lama. Saya ngerebus air dulu. Listriknya mati," dalih wanita sepuh itu.

Pria berusia di pertengahan 30-an itu tersenyum maklum. Merebus air memang lebih lama daripada menyeduh dengan air dispenser. Dan pantesan wanita-wanita tetangganya mencari pengalihan di luar rumah serta Bu Salwa tak berlatih yoga karena wifi-nya mati. Lalu Kezia pasti merengek karena tak bisa menonton acara TV kesayangannya.

Tok ... tok ... tok ... tok. Seorang penjaja bakso melintas di depan rumah Chandra dengan gerobaknya.

"Bang! Beli!" panggil seorang wanita yang sosoknya muncul tak lama kemudian. Beberapa wanita lainnya mengikuti di belakangnya. Kesemuanya lalu mengelilingi si pedagang yang usianya sudah separuh baya. Dan laki-laki itu tampak semringah.

Penjaja bakso itu selalu melintas di kompleks setiap sore. Namun Chandra jarang melihatnya dikerubuti pembeli.

"Sore, Pak Chandra," sapa seorang wanita paruh baya yang tengah mengantre dilayani si tukang bakso. Bu Rita, namanya. Rumahnya hanya terpaut dua rumah dari rumah Chandra.

"Sore, Bu," balas lelaki itu ramah.

"Listrik di rumah juga mati?"

"Iya. Kayaknya sekompleks mati semua."

"Gak mau sekalian ngebakso?" tawar Bu Rita kemudian.

"Makasih, Bu," tolak Chandra. "Tadi si bibi udah masak."

"Kalau Bu Anette-nya ke mana?"

"Lagi pilates. Sebentar lagi juga pulang."

"Oh. Salam ya."

Chandra mengangguk. "Makasih," ucapnya.

Si tetangga tak bicara apa-apa lagi setelahnya. Ia kembali menimbrung ibu-ibu lain bergibah. Sepertinya tanpa wifi, gosip di antara mereka juga bisa menyebar, bahkan lebih cepat daripada kecepatan internet.

Chandra berbalik pada bukunya, menenggelamkan diri dalam buku fiksi bertemakan sejarah yang dibacanya. Dicobanya untuk tak terpengaruh oleh suara-suara obrolan itu, hingga tanpa ia sadari, lingkungannya kembali sunyi.

Lelaki itu menegakkan kepala. Si tukang bakso dan ibu-ibu pembeli yang mengerubutinya sudah menghilang dari seberang jalan. Rengekan Kezia pun tak terdengar lagi.

"Mas."

Chandra menoleh dan menemukan Anette baru turun dari mobil. Penampilannya tampak sesegar baru keluar dari kamar mandi. Ia memang terbiasa mandi di sanggar seusai latihan.

"Asyik banget sampai gak sadar aku pulang." Wanita berambut pendek itu mendekat.

Chandra bangkit untuk menerima salim lalu membalasnya dengan kecupan di kening sang istri.

"Celia lagi apa, Mas?" tanya Anette.

"Sebelum aku ke sini, dia masih tidur," sahut Chandra. "Eh, kamu dapat salam dari Bu Rita."

"Oh ya? Kamu ketemu di mana?" Manik Anette membulat sempurna mendengar sesuatu yang menurutnya langka terjadi.

"Tadi dia beli bakso di depan situ sama ibu-ibu lain." Dagu Chandra mengedik ke arah seberang jalan.

Kepala Anette berputar mengikuti arah yang ditunjuk suaminya. Tak ada siapa-siapa di sana. Lingkungan kompleks itu sepi seperti biasa. "Kok tumben mereka ngumpul?"

Lelaki itu merengkuh bahu istrinya dan membawanya masuk dalam rumah. Di ruang duduk, Bi Nining bersimpuh di atas karpet menghadap TV layar datar 42 inci milik sang majikan yang sedang menayangkan infotainment. Listrik sudah kembali menyala. Pantesan.***

--------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

A.D
Bandung, 4 Mei 2023

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 04, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

ScrapbookWhere stories live. Discover now