02 ❇ Perpisahan

179 100 59
                                    

Seringkali perpisahan menyadarkan kita tentang betapa berartinya seseorang setelah dia tiada

❇❇❇


"Ayah sakit, Dil."

Genggaman tanganku pada ponsel seketika mengendur. Aku tercekat, tubuhku bahkan langsung lemas mendengar kabar buruk itu.

"Ayah sakit apa? Lalu sekarang bagaimana? Apakah sudah dibawa ke dokter?" tanyaku beruntun.

"Sudah, Dil. Bahkan sudah berkali-kali ibu membawa ayah ke dokter, tapi bukannya membaik, semakin hari sakitnya malah terlihat semakin parah. Setiap malam, dia demam, dan dia selalu manggil-manggil kamu saat panasnya sedang meninggi. Sepertinya ayah kangen sama kamu, Dil."

Aku terdiam. Hatiku gerimis. Sungguh itu terdengar sangat memilukan di telingaku. Perasaan bersalah pun seketika aku rasakan. Sudah hampir setahun ini, aku tidak pulang ke desa. Kesibukanku bekerja dan kuliah membuatku seolah tidak sempat untuk pulang ke kampung halaman. Ditambah lagi, ongkos pulang pergi dari kota ini menuju kampung halamanku tidaklah murah. Gajiku sebagai buruh laundry sangat pas-pasan, hanya cukup untuk biaya kuliah, kost dan makan. Hampir tidak ada sisa untuk kugunakan sebagai ongkos pulang. Namun, saat mendengar ayah sakit, aku seakan tidak memikirkan apa-apa lagi selain pulang untuk menjenguknya, entah bagaimanapun itu caranya.

"Aku segera pulang, Bu, tunggu saja."

"Tapi bagaimana dengan kuliahmu, Dil? Apakah jadwal kuliahmu tidak akan terganggu jika kamu pulang ke sini? Apa uangmu cukup untuk ongkos pulang ke sini?"

"Jangan pikirkan hal itu, Bu. Sungguh, yang terpenting bagiku ayah bisa segera sembuh."

"Baiklah. Hati-hati di jalan."

Setelah sambungan telepon terputus, aku langsung menjauhkan benda pipih itu dari telingaku. Aku duduk termangu memikirkan masalah ini. Aku sangat khawatir dengan kondisi ayah di sana. Apalagi ibu mengatakan bahwa kondisi ayah semakin memburuk, aku sungguh 'tak sanggup mendengar hal itu. Aku tidak mungkin hanya berdiam diri saja di sini. Bagaimanapun juga aku harus pulang untuk menjenguknya.

Tanpa buang waktu lagi, aku langsung mengambil tas untuk segera menuju terminal, aku akan pulang detik ini juga, tidak peduli meskipun saat ini aku memiliki jadwal untuk berangkat ke kampus. Namun, langkahku terhenti ketika aku mengingat bahwa saat ini uang di kantongku hanya tersisa seratus ribu, itu pun akan gunakan untuk biaya makan selama aku menunggu gajian di minggu depan.

Aku bingung, bagaimana bisa aku pulang dengan jumlah uang yang hanya seratus ribu. Tentu saja itu tidak cukup untuk ongkos pulang. Aku akhirnya terduduk lemas. Rasa sedih, kesal, takut, khawatir, semuanya berpadu menjadi satu.

"Ya Allah, bagaimana ini?" eluhku sembari mencengkram kuat kepalaku yang tiba-tiba terasa pusing.

"Oy, Dil, ayo berangkat." Suara Rendy berhasil menyadarkanku yang hampir saja melamun memikirkan masalah ini.

Kulihat, Rendy sudah rapih. Sepertinya dia sudah siap untuk berangkat ke kampus.

"Kamu berangkat duluan aja," balasku singkat tapi berhasil membuat dahi Rendy mengkerut.

"Loh, kenapa? Bukannya dari tadi kamu nungguin aku, kok sekarang malah tiba-tiba nyuruh duluan," tanyanya heran.

"Gak apa-apa," balasku datar.

Rendy tidak lantas pergi, dia malah menatapku dengan penuh selidik.
"Ada apa, Dil, gak biasanya aku liat wajah kamu semasam ini. Lagi ada masalah?" tanyanya dengan serius.

Aku mendongakkan wajah sembari menggeleng pelan sebagai jawaban atas pertanyaan Rendy. Sebenarnya aku ingin sekali bercerita kepadanya dan menanyakan apa dia masih memiliki uang simpanan yang bisa kupinjam. Namun sayangnya aku terlalu payah dan tidak cukup berani untuk mengatakannya, karena aku tidak terbiasa meminjam uang kepada seseorang.

Journey Of My LifeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora