19 ❇ Cita-Cita & Impian

25 19 0
                                    

Dengan mengingat cita - cita, kita mampu memotivasi diri untuk tetap bertahan dan  berjuang melawan ketidakmungkinan. Dengan mengingat cita-cita, kita mampu bangkit saat terjatuh, selalu tabah meskipun beberapa kali rebah serta mencoba tetap terbang meskipun beberapa kali tumbang

❇❇❇

Selepas sholat subuh, biasanya aku dan ketiga temanku mengikuti kajian yang diisi oleh Ustadz Amran, tapi karena beliau hari ini ada keperluan, untuk itulah kajian akhirnya diliburkan.

Meskipun kajian diliburkan, tapi kami tidak ingin buru-buru pulang ke kost, kami mengobrol sejenak di teras masjid sembari menikmati udara pagi yang begitu segar.

"Apa kalian punya impian besar di masa depan?" tanyaku membuka percakapan.

"Tentu saja. Setiap orang pasti memiliki impian." Salman menyahut.

"Apa impianmu, Man?" tanyaku.

"Aku ingin menjadi seorang penulis. Selain itu juga aku ingin mendirikan sebuah organisasi kepenulisan untuk  mengembangkan bakat literasi di kalangan anak muda. Aku ingin agar anak-anak muda bisa menulis, bukan sekedar nulis biasa, melainkan menulis sesuatu yang bernilai dan bermanfaat untuk orang lain."

"Luar biasa sekali impianmu, Man," pujiku.

"Kalo kamu, Bay? Apa impian terbesarmu?" tanyaku kepada Abay.

Abay tak lantas menjawab. Dia terdiam sejenak. Sampai akhirnya dia kembali membuka suara.

"Aku ingin lanjutin S2 di Madinah. Kemudian, aku juga ingin mendirikan suatu lembaga yang khusus mendidik para pemuda yang memiliki minat dan bakat dalam dunia dakwah atau ceramah. Lembaga tersebut nantinya akan menjadi wadah untuk mencetak kader-kader da'i yang profesional," kata Abay dengan mata berbinar.

"Masyaallah, mulia sekali mimpimu, Bay," pujiku.

"Kalo kamu bagaimana, Ren? Apa impianmu?" tanyaku pada Rendy.

"Ngapain nanya dia. Mimpi besar apa yang gak mungkin bisa dicapai sama orang kaya seperti dia," sahut Salman.

"Aku gak punya apa-apa, Bro. Yang kaya itu orang tua aku. Lagipula, gak semua mimpi bisa ditaklukin sama uang," tegas Rendy.

"Benar," sahutku membenarkan.

"Jadi, impianmu apa, Ren?" tanyaku lagi.

"Kehilangan Stefanie memang cukup menyakitkan bagiku. Namun ternyata ada yang jauh lebih menyakitkan dari pada itu, yaitu kehilangan kepercayaan ayahku. Saat ini ayahku sudah tidak mempercayai aku lagi, dia sangat kecewa denganku yang selama ini telah menghambur-hamburkan harta hasil keringatnya untuk hal-hal tidak penting. Tapi sekarang aku sadar, aku telah menyesali semua itu. Aku ingin mengembalikan kepercayaannya lagi kepadaku. Tetapi sepertinya itu akan menjadi hal yang sulit, mengingat betapa kecewanya dia kepadaku. Ditambah lagi saat dia mengetahui bahwa nilai mata kuliahku banyak yang tidak lulus, kekecewaannya kepadaku semakin besar," jelasnya dengan sorot mata menyendu.

"Jadi impianmu adalah ingin mengembalikan lagi kepercayaan ayahmu kepadamu?" tanyaku memastikan yang kemudian langsung diangguki oleh Rendy.

"Kamu sendiri? Apa mimpi terbesarmu?" Rendy balik bertanya kepadaku.

Aku bergeming seraya menatap langit-langit masjid. Kuhela nafas sejenak sebelum akhirnya aku kembali membuka suara untuk menceritakan perihal impianku kepada mereka.

"Sejak dulu aku sangat menyukai hal-hal yang berbau otomotif, untuk itulah impianku adalah ingin menjadi seorang Automotive Engineer. Namun, di luar dari itu, aku memiliki mimpi lain yang jauh lebih besar dan ingin sekali aku realisasikan," kataku sembari memberi jeda.

Journey Of My LifeWhere stories live. Discover now