39 ❇ Vilain Dari Masa Lalu

12 4 0
                                    

Tuhan seakan memberiku kejutan ketika Dia menuntun langkahku untuk kembali menemukanmu dalam versi terbaru

❇❇❇

Sekitar setengah jam perjalanan, aku akhirnya sampai di kediaman Ustadz Amran. Aku turun dari kendaraan dan langsung mengetuk pintunya tanpa lupa mengucap salam.

Tak berselang lama, pintu kemudian terbuka dan menampilkan sosok laki-laki berusia senja yang berstatus sebagai guru ngajiku.

"Masyallah, Fadil, kamu rupanya. Ayo-ayo masuk," ajaknya. Aku kemudian masuk dan duduk di sofa setelah beliau mempersilahkan.

Sebelum mengutarakan maksud dan tujuan utamaku menemuinya. Terlebih dahulu aku menceritakan kepada beliau bahwa saat ini ibuku sedang sakit. Aku meminta doa yang terbaik kepada beliau agar Allah segera mengangkat penyakit ibu dan segera memberikan kesembuhan untuk ibu.

"Yang sabar ya, Dil. Insyaallah, ibumu pasti akan sembuh. Saya yakin dia adalah wanita yang kuat, dia pasti akan sanggup melawan penyakitnya itu."

"Iya semoga saja. Terimakasih banyak, Ustadz, atas doanya."

Setelah perbincangan mengenai ibuku selesai. Aku segera memindahkan topik pembicaraan mengenai tujuan utamaku datang menemuinya. Namun entah mengapa untuk memulainya rasanya sulit sekali, saat ini aku jadi merasa canggung bahkan hampir tidak berani mengatakannya.

Aku benar-benar takut jika niatku saat ini terkesan terlalu lancang. Apakah pantas orang sepertiku ini datang dengan niat serius untuk wanita sekelas bidadari surga seperti Aida. Aku tiba-tiba merasa minder, aku merasa tidak pantas untuk Aida.

Namun aku berusaha percaya diri dan menepis segala keraguanku itu. Apapun hasilnya nanti, yang terpenting aku sudah menyampaikan niat baikku. Masalah Aida menerima atau tidak, biar menjadi urusan belakangan. Aku tidak akan berkecil hati sekali pun Aida menolak, toh aku sendiri sadar bahwa Aida jauh lebih pantas mendapatkan yang lebih segala-galanya dariku. Aku hanya berusaha, hasil akhirnya kuserahkan sepenuhnya kepada Yang Maha Kuasa.

"Sebenarnya, aku datang ke sini juga ingin mengatakan hal lain, Ustadz," ujarku pelan setengah gemetar.

"Oiya silahkan, katakan saja."

"Jadi begini," ucapku menggantung yang membuat Ustad Amran jadi menatapku heran.

"Ada apa Dil? Kenapa kamu malah jadi terlihat ragu seperti itu?"

Aku terdiam sejenak kemudian menarik nafas terlebih dahulu. Kukumpulkan keberanian untuk kembali bicara.

"Jadi begini, Ustadz, tujuan saya datang ke sini untuk menyampaikan niat baik dan serius saya terhadap putri Ustadz. Saya memiliki ketertarikan kepada Aida. Jika Aida berkenan, dan Ustadz merestui, saya memohon izin untuk mengajak Aida pada proses ta'aruf. Saya memohon maaf yang sebesar-besarnya jika niat saya ini terkesan terlalu lancang, Ustadz."

Ada keterkejutan yang muncul di raut senja Ustadz Amran, binar matanya meredup. Aura wajahnya berubah seperti tidak begitu senang dengan apa yang kukatakan.

Aku hanya bisa menelan saliva dengan detak jantung yang tak lagi terkira cepatnya. Ketakutan tiba-tiba menyelinap di dada. Sepertinya aku memang terlalu lancang meminta Aida untuk disandingkan dengan orang sekelasku.

"Ah, aku ini siapa berani-beraninya datang menginginkan wanita sesempurna Aida," runtukku dalam hati.

"Saya ingin bercerita dulu sebentar, boleh?" pinta Ustadz Amran, aku pun mengangguk.

Ustad Amran membenarkan posisi duduknya. Matanya menatap lurus ke depan. Helaan nafas yang begitu berat terlirih dari bibirnya. Aku semakin was-was melihat raut wajah Ustadz Amran yang nampak menyendu seperti itu.

Journey Of My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang