20. A New Life

708 18 0
                                    

Kayra.
Tokyo, 1 years later.

Satu sendok mentega meleleh diatas penggorengan. Aku sengaja memanaskannya untuk membuat omlete pagi ini. Aroma mentega panas yang beradu dengan telur diatas penggorengan membuat indra penciumanku tergelitik, aku tidak sabar mencicipi omelete buatanku bersama pria yang saat ini sudah tinggal bersamaku selama satu tahun terakhir. Tidak lupa aku menyiapkan tiga buah onigiri dan juga beberapa potong buah segar sebagai bekal makan siang. Semuanya sudah tertata rapi dalam kotak bento berwarna abu-abu. Segera aku berteriak memanggil pria itu.

"Sayang, cepat berkemas. Ini sudah hampir terlambat!!"

"Tunggu sebentar, aku harus memakai dasi sebelum berangkat kerja."

Pria itu tergesa menuruni tangga lalu menengguk secangkir teh hangat yang sudah aku siapkan tanpa duduk terlebih dahulu. Tangan kirinya masih sibuk membenahi dasi yang terlihat kusut. Aku tersenyum melihat raut paniknya karena hampir terlambat.

"Kemarilah."

Tubuhnya mendekat padaku, tanganku terangkat merapikan dasi yang ia kenakan sembari menatap lekat wajahnya. Telapakku menangkup pipi halusnya. Detik yang berjalan terasa melambat, aku kembali mengingat bagaimana awalnya kami dipertemukan. Tidak ada yang berubah. Masih selalu indah, hanya saja seiring berjalannya waktu membuat garis wajahnya mulai menunjukkan gurat-gurat kedewasan.

"Sudahlah, jangan memandangku terlalu lama. Aku sudah hampir terlambat." Tukasnya sembari mendaratkan satu kecupan di keningku yang membuatku membumi lagi lalu mengerjap dari lamunanku.

Dia tidak sempat memakan sarapannya, lalu dengan cepat aku membungkuskan dua bekal untuknya. Mungkin ia akan memakanya diperjalanan ke kantor nanti. Tubuhku berbalik menyerahkan kantong makanan untuknya, namun dia sudah pergi meninggalkan apartement. Hmm. Jika aku mengejarnya, kurasa belum terlambat.

Langkahku memburu mengejar sosoknya, aku mempercepat tungkaiku lagi untuk membelah kerumunan namun punggungnya kembali hilang ditelan keramaian. Aku masih terus mengejarnya, hampir saja aku berhasil menangkap pundaknya.

"Arsenio, tunggu!!"

Pria itu berbalik dengan wajah terkejut. Aku tidak paham kenapa wajahnya terlihat panik saat menatapku. Mataku membola seketika saat tersadar bahwa lampu hijau tiba-tiba menyala namun aku sudah terlanjur menerobos jalan, padahal dari arah samping laju mobil berwarna hitam itu tidak dapat dikendalikan lagi.

"Kayra, awas!!"

BRAKKKK!!!

"Ya Tuhan. Jangan!!"

Sial. Napasku tiba-tiba memburu begitu hebat. Tubuhku terpranjat lalu aku terbangun di apartementku sebelum bunyi alarm terdengar. Aku menepuk-nepuk pipiku lalu menyibakan selimutku, mengamati kakiku dan setiap jengkal tubuhku. Syukurlah, semua bagian tubuhku masih dalam keadaan utuh saat ini. Lagi-lagi mimpi yang baru saja terjadi masih selalu terasa nyata untukku.

***

Pertengahan bulan November, pohon-pohon pinggiran kota Tokyo terlihat mulai menguning. Aku berjalan melewati daun-daun maple yang mulai berjatuhan dan berserakan memenuhi setiap jalan. Laju angin di musim gugur yang sedikit kencang menerbangkan anak rambutku dan daun-daun disekitarku.

Setelah kepergiannya, aku memutuskan untuk pindah ke Tokyo. Menjajaki kehidupan baru, berharap aku dapat melupakan semua kejadian yang menorehkan duka mendalam. Tapi, bagaimana aku bisa benar-benar melupakannya jika tidak ada satu haripun ia tidak datang dalam mimpiku? Bahkan ketika aku tebangun, hal pertama yang selalu aku ingat adalah tentang senyumnya.

Penerbangan sudah berjalan dua ribu sekian mils meninggalkan kota dimana cerita sedihku berakhir menuju negeri sakura, namun nyatanya disudut kota manapun, isi kepalaku masih selalu dipenuhi segala hal tentangnya.

Rule The FateWhere stories live. Discover now