12. Hidden pain

369 20 0
                                    

Sudah menjadi hal yang biasa jika saat membuka mata tiba-tiba Arsenio sudah terbaring diatas ranjang rumah sakit. Namun tidak untuk hari ini. Arsenio belum mengingat detail tentang apa yang sebelumnya terjadi. Yang jelas saat ini ia terbangun di sebuah ruangan asing dengan selimut sebatas dada dan tubuhnya masih terbalut oleh stelan seragam basket bernomor punggung dua puluh lima.

Sudut matanya menyipit menyesuaikan cahaya diruangan tersebut. Perlahan Arsenio bangkit memposisikan diri untuk duduk. Pandangannya masih mengedar untuk menatap sebuah bangunan yang menyerupai apartemen dengan interior modern bercatkan abu-abu tersebut.

Terdapat beberapa mendali kejuaraan bola basket yang tergantung rapi pada dinding kamar dan beberapa kepingan CD musisi favoritenya yang dilengkapi tanda tangan para personil band tersebut.

Seingatnya, Arsenio belum pernah mengikuti turnamen basket antar kampus dan juga belum pernah mendatangi konser. Apakah mungkin saat ini dia sedang salah kamar? Atau mungkin seseorang dengan sengaja sudah mengubah tatanan kamar miliknya? Pikirannya mulai menerka-nerka tentang apa yang baru saja menimpanya.

Belum sempat menemukan jawaban atas kebingungannya, pintu apartemen tersebut berdecit menampakan sosok laki-laki yang tidak lagi asing bagi Arsenio. Laki-laki tersebut membawa nampan berisikan menu makan malam dan beberapa obat kemudian mendekat di tepi ranjang Arsenio.

"Lo pingsan."

Satu kalimat berhasil lolos dari bibir laki-laki itu tanpa menunggu pertanyaan dari Arsenio. Sepertinya kalimat tersebut berhasil mewakili garis besar kejadian yang sebelumnya terjadi.

"Oh shit! Austrin, lemme know, gimana ceritanya gue bisa ada di apart lo?"

"Sesuai permintaan lo kemarin, tadi sore gue nonton pertandingan lo dan lo berhasil mencetak poin lalu memenangkan pertandingan di menit terakhir. Sampai disini ada yang lo inget?"

Atas petunjuk yang dituturkan Austrin, perlahan kini Arsenio mulai mengingat kepingan kejadian yang membawanya kesini. Arsenio dapat bernapas lega karena pada akhirnya ia dapat memenangkan pertandingan basketnya, setidaknya kini Aksalio sudah bisa mendapatkan haknya untuk tetap berdekatan dengan Lynn berkat dirinya.

"Oh, oke gue mulai inget. Waktu mereka selebrasi gue cepet-cepet kabur karena dada gue kerasa sakit tiba-tiba. Sampai di halte bus gue nggak inget lagi."

"Lo pingsan disana. Jalan didepan gue tiba-tiba macet waktu gue mau pulang. Cepet-cepet gue turun dari mobil dan nggak sengaja liat lo pingsan dikerubungin banyak orang."

"Gue kecapekan nahan sesak, dan yang terjadi malah justru gue mendadak pingsan."

Austrin tidak lagi menanggapi pengakuan Arsenio. Ia menyodorkan makan malam dan menginstruksikan kepada Arsenio untuk segera meminum obatnya.

"Gue tau ini obat lo, kalau gue abisin nanti lo minum apa?"

"Lo tenang aja Nio, minggu lalu setelah radioterapi ke enam, dokter udah menyatakan bahwa sel kanker di tubuh gue udah nggak bersisa. Dengan kata lain, gue udah dinyatakan sembuh."

Seharusnya, ini akan menjadi berita bahagia untuk Arsenio jika mendengar rekannya sembuh dari penyakitnya. Namun kenapa justru sorot matanya terlihat memilukan dan merasa sedikit sesak mendengarnya?

"Gue ikut seneng dengernya."

Selera makan Arsenio mendadak hilang. Seakan paham dengan apa yang dirasakan Arsenio, Austrin mengambil satu sendok nasi dan menyodorkan suapannya kepada Arsenio, namun Arsenio justru memundurkan tubuhnya seakan menolak suapan tersebut. Tidak ingin menyerah begitu saja Austrin tetap memaksa Arsenio untuk menerima suapannya.

Rule The FateWhere stories live. Discover now