3 : Memperhatikan

12 4 2
                                    

Sebenarnya, jika ragamu tidak terselip di ruang pojok kelas itu.

Mungkin, ragaku ini tidak akan pernah mencoba berkhianat.

Khianat kepada rasa yang kian membesar.

Khianat kepada lisan yang terus berdusta.

Khianat kepada pikiran yang tiap hari dikikis oleh namamu.

Hari itu, ketika hujan menerjang tempatku, aku berdiri di teras rumah, menatapi langit sendu dengan getaran pelengkapnya dan meratapi diriku akan waktu yang terus berjalan, hari itu aku khawatir terlambat masuk kelas, air murni ini tidak bisa kuhe...

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hari itu, ketika hujan menerjang tempatku, aku berdiri di teras rumah, menatapi langit sendu dengan getaran pelengkapnya dan meratapi diriku akan waktu yang terus berjalan, hari itu aku khawatir terlambat masuk kelas, air murni ini tidak bisa kuhentikan, diriku juga tidak mungkin menerjang derasnya hujan.

Pikiranku agak kalut, aku terus bergerak gelisah, sampai ketika papaku mencari jas hujan untuk memakaikan kepadaku dan kembaranku, yang biasanya aku berjalan menuju sekolah, kini diantar oleh kesatria keluarga, bertiga menaiki motor memakai jubah anti air, aku dan kembaranku sibuk tertawa di balik badan papa, bukan karena apa-apa, karena merasa lucu saja berada di atas benda yang bergerak dengan badan yang ditutupi, sedangkan papaku dengan kelihaiannya menerjang butir-butir hujan itu, agak menyenangkan juga.

Akhirnya, kami tiba di sekolah, papaku memarkirkan motor di tempat yang teduh, aku dan Aya turun dan bergegas ke kelas, kami berdua berjalan menepi, karena kelas kami yang berada di atas, jadi kami berjalan agak jauh, melewati kelas-kelas yang terpatri di bawah, terlihat sudah ada beberapa guru yang terduduk di ruang kelas.

"Dek, telat kayaknya."

"Iya, ayo cepat jalannya."

Aku dan Aya mencoba menaikkan tempo langkah kami, hingga akhirnya Aya mendahuluiku memasuki kelas, kelas kami berbeda aku berada di B sedangkan Aya di C. Aya beruntung, kelasnya belum ada guru, aku melangkah ke kelasku dengan sedikit berlari karena jarak antara kelasku dan kelas Aya terpisah oleh jalan, karena itu aku harus berlari karena tidak mau dibasahi oleh hujan.

Mataku berpendar ke seisi kelas, ternyata banyak juga temanku yang belum datang, guru juga belum ada tanda-tanda akan memulai aksinya, Lia, seperti biasa sudah berada di sana, ia selalu awal, mungkin karena jarak rumahnya dan sekolah jauh, jadi mengharuskannya bangun pagi dan berangkat awal, aku yang malah dekat dengan sekolah sering kali menyepelekan waktu.

"Kebasahan ya." Sahut Lia, seraya ia membantuku mengibas-ngibas rok yang kotor terciprat air di jalan.

"Iya ini, tapi sedikit kok, soalnya tadi pakai jas hujan, roknya saja yang kena cipratan air."

Aku duduk dan mengeluarkan buku tulis agama yang akan digunakan, guru belum datang juga, mungkin tidak akan ada kelas, mungkin saja guru kami terjebak hujan atau mungkin sedang meriang di rumah.

Pagi itu suasana hatiku agak kalut, selain karena terbawa suasana oleh hujan aku juga mendapati diri ini kian lemas karena tidak menemukan sosok Arga di pojok ruangan. Malam hari kemarin, ia belum juga membalas pesanku dan ketika datang pagi aku tidak menemukan raganya, setelah semalaman dibuat gelisah, paginya tanpa permisi membuatku resah, resah mengharapkan kehadirannya, resah memikirkan keadaannya. Sungguh ajaib.

Wijaya KusumaWhere stories live. Discover now