5 : Perasaan

12 6 2
                                    

Perasaan semakin hari kian mendera.

Harapan semakin hari kian menerpa.

Aku menatap bayangmu dalam kepura-puraan.

Berharap perasaan terbalaskan.

Seragam putih biru telah merekat pada diri, sepatu hitam dengan tali putihnya sudah terikat dengan rapi, buku-buku tulis sudah berbaris rapi di dalam tas bersiap berperang melawan hari, aku telah siap untuk bergegas ke tempat pemanfaatan diri

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Seragam putih biru telah merekat pada diri, sepatu hitam dengan tali putihnya sudah terikat dengan rapi, buku-buku tulis sudah berbaris rapi di dalam tas bersiap berperang melawan hari, aku telah siap untuk bergegas ke tempat pemanfaatan diri.

Seperti biasa, aku berjalan dari rumah bersama Aya menuju sekolah, kami berbincang selama perjalanan, mengobrolkan hal-hal yang kian meresahkan, bahkan tak jarang kami membicarakan masa depan.

Yang kerap kali terpikir diri ini akan menjadi apa, diri ini akan dibawa ke mana, diri ini akan memberi manfaat sebesar apa, terkadang membuat kepala terasa pusing dan penat, belum lagi hal pendewasaan diri yang terkadang membuat takut dengan berbagai masalah yang semakin tersulut.

Selama hampir 5 menit perjalanan, kami bertemu dengan teman lain lalu berangkat bersama-sama, obrolan yang terjalin semakin seru, semakin banyak hal yang kami bicarakan, bahkan terkadang kami membicarakan abang-abang tukang bakso yang lewat memakai baju batik yang terpasang rapi di badannya.

Terkadang merancang masa depan terlalu berat dan mengharapkan sesuatu hal yang besar, aku tidak menyebutnya salah, kita bisa belajar dari abang tukang bakso tadi, mungkin ia dulu tidak pernah terpikir akan berdagang keliling membawa gerobak hijaunya, mungkin ia dulu menulis di buku diarynya ingin menjadi seorang pilot atau astronot, mungkin ia dulu sudah merancang masa depan yang begitu indah, tapi kenyataan tak seindah dan semulus yang dikira.

Masalah ekonomi kian menghampiri, masalah pendewasaan tak bisa dipungkiri, akhirnya ia menerima dengan lapang dada kenyataan, akhirnya ia mencoba menjalani hari dengan baik, ia mencoba memanfaatkan keadaan agar bisa memberi manfaat kepada yang lain.

Ia berdagang dengan langkah ikhlas, ia membuat makanan yang bersih, mengenyangkan, dan bermanfaat bagi diri orang lain, memang sebagian diri akan memandang rendah abang ini, tapi makanan yang di jualnya akan bermanfaat bagi diri, masuk ke pencernaan, di kelola dengan baik di pencernaan, gizinya diambil untuk manfaat tubuh, makanan yang sehat dan bersih tadi menjelma menjadi darah daging dan perkembangan otak yang bagus.

Lihat seberapa hebat manfaat yang diberi para penjual makanan, kita tidak bisa selalu memandang rendah pekerjaan orang lain, tapi lihatlah sebesar apa manfaat yang telah diberi.

Semakin seru obrolan kami sehingga tak sadar sudah sampai di gerbang perencana masa depan, kami yang tak semua berada dalam satu kelas saling berpencar mencari dan masuk ke dalam kelas masing-masing.

Saat di kelas sudah ada beberapa teman yang memenuhi kelas termasuk Arga yang sudah berkutat di pojok ruang kelas, aku tahu pasti ia sedang mengerjakan PR Matematika, bukan hanya ia seluruh teman yang sudah berada di kelas pun mendadak rajin seketika. Pak Azhari memang tiada hari tanpa tugas, setiap pertemuan pasti mengadakan kuis dadakan dan tugas yang tak pernah ketinggalan, aku setuju saja dengan strategi belajarnya walau terkadang agak jengkel juga karena tugas yang diberi tak semudah contoh yang diajari dan terkadang soalnya beranak, diberi satu soal tapi abjadnya sampai Z, wah geleng-geleng deh, tapi aku akui Pak Azhari guru yang baik dan asyik, walau soal yang diberi agak menyulitkan tapi karena metodenya yang menarik dapat mengurangi kejenuhan dengan angka-angka itu.

Wijaya KusumaWhere stories live. Discover now