Promise

971 169 8
                                    

_________

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

_________

"O--ke. Gue bakal bayar, tapi nggak sekarang. Besok, gue pastiin uang itu ada dan akan langsung gue lempar ke muka lo!" Ucapnya seraya mengarahkan telunjuk ke wajah Sagara.

"Duit darimana? Jual diri?"

"SIALAN!"

PLAKKK

Satu tamparan kuat mendarat tepat di pipi kiri Sagara. Emosi Sahara sudah tak tertahan lagi. Dadanya terasa sesak. Telinganya panas mendengar hinaan dan cacian dari pria itu.

Pipi Sagara memerah, tertinggal jelas bekas jemari gadis itu karena saking kuatnya memberikan tamparan. Aldino, Arhan dan Samuel ternganga dan tak menyangka. Mereka masih membeku dan saling bertanya-tanya.

"Keterlaluan lo! Sekarang, gue emang udah nggak punya apa-apalagi. Tapi, bukan berarti lo berhak ngatain gue, apalagi ngerendahin harga diri gue."

"Asal lo tahu, yang rendah itu bukan harga diri gue. Tapi, mulut lo! Mulut lo terlalu rendahan untuk ngerendahin harga diri gue. Ngerti lo?"

Gadis itu langsung berbalik arah, lalu berjalan meninggalkan Sagara. Ia menyeka air matanya yang tiba-tiba menetes. Sedari tadi ia berusaha menahan, akhirnya luruh juga.

Sahara berlari kecil, berulang kali mencoba menepis air matanya yang terus jatuh tanpa persetujuan. Para pekerja yang melihat itu, menampilkan raut keheranan. Termasuk Mira.

"Mbak, kenapa kok nangis?" Ucapnya memastikan.

Buru-buru Sahara menetralkan diri, lalu mengubah raut wajahnya yang sendu menjadi ceria.

"Nggak apa-apa kok, Bi. Mata Sahara cuma kelilipan, makanya berair. Sahara pamit pulang ya, Bi," sahut gadis itu ceria meski matanya masih nampak memerah.

"Tidak mau mampir dulu, Mbak? Ibu dan Bapak baru saja kembali dari luar."

"Lain kali saja, Bi. Saya takut kemalaman pulang."

Mira mengangguk mengerti. Ia kemudian menemani Sahara menuju gerbang. "Ayo, Mbak. Saya antar ke depan."

Sesampainya di gerbang, gadis itu langsung pamit. Ia kemudian berjalan menjauhi rumah Sagara. Tidak seperti sebelumnya, Sahara bahkan tidak memesan ojek online. Dia memilih berjalan sebentar untuk menenangkan pikirannya.

Mentari sudah menenggelamkan diri, sudah usai tugasnya menyinari hari ini. Bulan pun masih malu-malu menampakkan diri. Padahal, bintang sudah bersiaga untuk menemani.

Angin menembus dan menusuk setiap sudut kulit Sahara. Rasanya dingin sekali. Ia sampai mendekapkan tangan di dada, lalu mengusap-usap pundaknya.

Tiba-tiba, perkataan dan hinaan Sagara berputar-putar di otaknya. Tak hanya itu, semua perlakuan yang Sahara rasa berlebihan juga tergambar di ingatannya. Rasanya sakit sekali. Sahara kembali menumpahkan air matanya.

180° [END]Where stories live. Discover now