Lelaki itu berbagi tugas dengan ayah dan ibunya. Ia mencari Sahara ke arah kiri, sedangkan kedua orang tuanya ke arah kanan. Mereka berpisah di persimpangan rumah sakit.
Entah firasat atau bagaimana, hati Sagara seperti terketuk untuk menuju apartemennya. Dengan kecepatan penuh ia mengendarai mobil. Beruntungnya, jalanan masih sangat sepi sehingga mudah baginya untuk ugal-ugalan sebentar.
Sesampainya di apartemen, ia langsung berlari menuju apartemen miliknya. Matanya di kejutkan oleh tetesan darah yang berjatuhan di lantai. Darah kental itu membentuk sebuah garis lurus yang putus-putus.
Sagara mengikuti arah darah itu yang menuju ke kamarnya. Segera ia berlari dan membuka pintu kamar seraya berharap Sahara masih ada disana.
Nihil. Lelaki itu tidak menemukan siapapun disana. Hanya ada bercak-bercak darah di kasurnya dengan darah yang cukup banyak hingga menyebabkan kasurnya lembab.
"ARGHH!"
Sagara memukul kuat temboknya seraya mengacak rambutnya kesal.
"Telat! Bodoh banget gue sampai-sampai Sahara pergi dari pengawasan gue."
"Kamu dimana, Ra? Please, jangan lakukan apapun selain kembali sama aku."
Ia langsung berlari dengan brutal meninggalkan apartemen. Jika saja ia punya pintu kemana saja, pasti ia akan langsung memakainya agar segera bertemu dengan Sahara.
Di tempat lain, Sahara sudah semakin sempoyongan karena lelah. Beberapa kali ia terjatuh, kemudian ia paksa berdiri dengan susah payah.
Kedua kakinya sudah di penuhi darah yang mengalir dari area pribadinya.
Sahara sudah memutuskan akan pergi. Ia akan pergi meninggalkan semuanya. Cintanya. Sakitnya. Lukanya. Kecewanya. Ia akan mengakhiri semuanya.
Sudah tidak ada alasan lagi baginya untuk hidup. Keluarganya sudah pergi, dan sekarang calon anaknya? Lalu apa lagi yang ia dengar, rahimnya harus di angkat?
Tidak! Sahara tidak mungkin hidup dengan takdir menyedihkan seperti itu. Lebih baik ia pergi menemui keluarganya, dan juga calon anaknya.
Sudah cukup dunia menyiksanya. Sahara tidak ingin semakin tersiksa menghadapi kenyataan di dunia.
Langkah kaki Sahara nampak menuju perlintasan kereta api. Gadis itu pikir, cara mengakhiri semua penderitaannya adalah dengan cara seperti ini. Tidak akan ada kesakitan lagi setelah ini. Jika ada, sakitnya hanya sementara. Setelah itu semuanya akan hilang bersama dengan kepergiannya.
Sorot lampu kereta api mulai nampak dari kejauhan. Sahara segera berlari agar segera sampai tepat di perlintasan kereta api.
Gadis itu sudah berdiri tepat di tengah-tengah rel kereta. Sorot lampu begitu menyilaukan mata. Terdengar berkali-kali suara klakson dari kereta api.
YOU ARE READING
180° [END]
Teen Fiction🌼 Follow akunku sebelum membaca! 🌼 Dilarang plagiat karena ide itu MAHAL! 🌼 Status cerita sudah end, jadi bisa marathon sampai akhir. 🌼 Jangan lupa vote dan komen saat membaca, agar Author tahu kalian benar-benar ada dan nyata. Blurb : Apa jadin...