28. Apa Yang Terbaik?✏️

108 48 1
                                    

Aku mengusahakan banyak cara agar semua baik-baik saja.
.
.


Kelasnya telah usai setengah jam lalu. Nathan duduk memainkan pianonya. Pikirannya kini memang sangat kacau, perkataan dokter tadi malam berkecamuk di otaknya.

"Saya teman dekatnya Lestari, saya sudah banyak mendengar tentang kamu dari dia. Saya harap kamu tetap mempunyai semangat untuk melawan penyakit ini.
Rumah sakit ini tidak punya peralatan yang canggih, saya harap kamu mau ikut dengan saya ke Singapura untuk pengobatan lebih lanjut," jelas sang dokter kepadanya

"saya rasa percuma, toh hidup saya juga sudah ditentukan berapa bulan lagi," balasnya nanar.

"Kok bisa nasib gue gini amat." Nathan bermolog sendiri di ruang seni.

Dua puluh satu tahun ia menghirup oksigen dunia dengan sangat lega. Semua yang terjadi belum pernah sesesak saat ini, saat ia tahu bahwa sakit kepala itu bukan cuma sakit karna telat makan. Bukan karna banyak pikiraan, melainkan karna kanker yang rupannya sudah stadium akhir.

Dua puluh satu, dan satu tahun di dua puluh satu inilah ia rasa oksigen dunia tidak selapang dulu. Air mata yang bisanya mengalir karna bahagia kini tumpah ruah karna derita.

Nathan tidak pernah berfikir bahwa apa yang ia anggap biasa saja taunya luar biasa fatalnya.

Pikirannya sembraut, banyak sekali hal yang tak ingin ia akhiri.

Amanat dari bang Iyan tadi malam terlalu berat untuk ia 'iya' kan.

"Nathan... kamu itu sangat berarti bagi Kezia. Kalau terjadi sesuatu yang buruk sama Abang. Abang titip Kezia sama kamu ya?"

Ia bingung harus bagaimana. Asalkan Adrian tau, bahwa lelaki yang sangat berarti di hidup adeknya itu adalah lelaki yang menghancurkan kembali si bungsu. Lelaki yang tidak bisa di titipkan amanat apapun, yang ada justru sebaliknya.

Ia menekan blok piano itu dengan sangat keras hingga menimbulkan bunyi yang sangat berisik, sama seperti isi kepalanya.

"AISHHSS SIALAN." Satu kata umpatan keluar dari mulutnya. Nathan meramas kuat rambutnya, kini kepalanya sangat sakit. Rasanya seperti di himpit batu yang sangat besar.

Lelaki berlari cepat keluar dari ruang seni itu, agak sedikit sempoyongan.

Membuka semua pintu kamar mandi itu dengan kesetanan, memastikan tidak ada satupun mahasiswa siang ini di wc.

Ia memuntahkan semua isi perutnya, kini pandanganya kabur seketika

"Jangan pingsan plisss....." lirihnya kesakitan.

***








Aku terduduk di bangku samping bangsal Nathan, lelaki itu masih memejamkan matanya sudah tiga puluh menit yang lalu.

Wajahnya tampak pucat. Air mukanya tidak secerah hari-hari sebelumnya.

Ku tatap lelaki yang masih terbaring di atas bangal itu. Menilisik tiap seluk wajah pucatnya, tangan ku terulur merapa pipi kurusnya. Saat ku taruh telapak tangan ku pada dahinya, suhu tubuhnya normal.

Tunggu dulu! Nathan sedang diet atau bagaimana? Pipinya tampak kurus sekali, ia kehilangan banyak berat badan.

Mata yang terkatup sedari tadi akhirnya terbuka. Senyum tipisnya terpatri sempurna di wajah pucatnya, hal itu membuat hati ku tiba-tiba saja meringis.

Entah kenapa ada gejolak aneh yang menjalar di seluruh tubuh ku.

"Kamu kenapa? Kok bisa gini?" Tanya ku dengan perasaan yang sangat khawatir.

Hujan Dan Pelangi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang