Keadilan yang retak

9 1 1
                                    

Keadilan Yang Retak - Hakim Lao.
Serigala Selatan : Kiwami escalations.

Lambang Dewa langit kembali menyentuh tanah, ketika satu, dua, tiga kepala siap bergulir di bawah pisau tajam, Tatapan patung singa di antara ketakutan terhukum, tanpa daya, tanpa kekuatan, ketika seluruh keangkuhan dilucuti oleh pintu masuk penga...

Oops! Bu görüntü içerik kurallarımıza uymuyor. Yayımlamaya devam etmek için görüntüyü kaldırmayı ya da başka bir görüntü yüklemeyi deneyin.

Lambang Dewa langit kembali menyentuh tanah, ketika satu, dua, tiga kepala siap bergulir di bawah pisau tajam, Tatapan patung singa di antara ketakutan terhukum, tanpa daya, tanpa kekuatan, ketika seluruh keangkuhan dilucuti oleh pintu masuk pengadilan.

Hanya Hukum mutlak yang berkuasa di dalam ruangan, hukum adat dan keyakinan diantara jutaan huruf Fang Shi Lian Guan To, tidak ada keputusan tanpa perbandingan, tidak ada perbandingan tanpa ke tegasan, satu hukum kembali tegak, di bawah lambang dewa langit, di atas hamparan permukaan daratan Tian Guan, Tatapan merah algojo ketika memisahkan sepasang kekasih, anggota keluarga, teman dan sahabat, bilakah ada sedikit belas kasihan pada sang korban, ucapan penuh fitnah yang terlontar dari mulut busul sang pembela durjana, terdakwa tertawa, tersangka tersiksa, tiada kata 'Bela' antara aku dan dia.

Eskalasi terakhir, melipat kertas dari balik tajam nya gunting dan pisau, belati menari di antara kibasan kain sutra yang melambai pada malam terakhir musim panas, Hembusan nafas sang penyair ketika menuliskan beberapa huruf di atas lembaran kertas putih tanpa noda, pena biru, angkasa dan laut, menggoda untuk melintasi nya, hamparan pasir Go bi di ujung langit, senja bergerak, ber arak berdampingan dalam ki wa mi.

Eskalasi tanpa akhir, perang tanpa kemenangan, panji yang ke bingungan, mana lawan dan kawan, tanpa arah tapak tuan Gong li menepi sebuah ilusi di atas tanah basah, percikan darah diantara ganasnya terik padang pertempuran, jari lentik di balik perisai yang pecah, pedang terbalik meliuk diantara angin musim panas, kehidupan tanpa khidmat, perjalanan tanpa arti, kaisar memerintah dalam sunyi di balik singgasana palsu, kerajaan tanpa nama, tanpa ketua.

Ketika seluruhnya sirna, tatapan terakhir di bawah kibasan pedang, hantaman Chi dan kerasnya tinju baja yang menyapa wajah dan tengkuk penuh bulu kuduk yang bersiap menanti sebuah takdir yang menghampiri dari semua sisi, dawai dan sitar bergerak, bergetar, berdetak di bawah tarian jari jari dayang yang menggoda untuk meniduri nya, menatap tanpa rasa walau rayuan terus menyapa sang Tuan dari balik senyuman palsu.

"Semua sudah selesai, Yang Mulia." Ujar seorang algojo sesaat setelah se sosok tubuh terbujur kaku di bawah alat pemenggal.

"Keadilan sudah di laksanakan."

Seorang wanita, gadis malang, kehormatan nya di renggut paksa oleh seorang bajingan, anak bangsawan, keluarga kerajaan, bocah tengik sok jagoan, yang memamerkan kejantanan hanya pada wanita lemah, dan kini, sang korban menjadi tersangka, terdakwa, terpidana mati.

Hanya menahan nafas, mencoba memalingkan wajah ke arah lain, namun seluruh tembok ruangan pengadilan hanya menampilkan citra dari sebuah adegan yang berasal dari sebuah kecurangan, ke tidak adilan seorang penguasa, seekor pecundang yang melindungi seekor binatang di bawah jubah sang ibunda ratu, jubah hitam kutukan, pelindung para durjana, mentahkan segala keputusan pengadilan, mainkan hukum langit sebagai bahan tertawaan, candaan, memutar balik keadaan, ketika ke jujuran kalah telak oleh kemunafikan yang di dukung beberapa penguasa, takdir yang tak retak, hukum langit yang kembali diinjak injak oleh para bangsawan, janin lumpur yang bergerak di atas ke angkuhan sebuah kekuasaan yang di titipkan.

Tatapan terakhir dari sang gadis yang terduduk tanpa daya di hadapan alat penggal, perlahan lahan menurunkan lehernya, terdiam pasrah atas sebuah keputusan curang yang menimpa diri nya, tawa binatang para durjana, penjahat di balik ke sombongan istana, pelindung ular busuk penuh caci maki di balik gemerlapnya kemewahan.

Airmata terakhir menetes dari kecantikan, ke polosan yang direnggut paksa, tetesan air mata merah menuruni pipi putih bersamaan dengan sebongkah kepala yang mulai terlepas dari badan ketika pisau panjang alat penggal mulai terdorong dengan cepat.

Keadilan macam apa yang sedang ku jalani? Kitab macam apa yang menjadi pegangan ku? Menjadi panduanku untuk menemukan cahaya terang diantara gelapnya bayangan malam yang semakin menghitam?

Wahai langit yang menghitam, dimanakah kau letak kan sebuah keputusan yang berasal dari sebuah pertimbangan matang seorang Hakim kerajaan? Jika pada akhirnya seorang pembuat keputusan harus di dikte oleh seorang pembela seekor binatang? Bajingan tengik yang tertawa terkekeh di hadapan meja ku, di depan wajahku, seakan menghinakan hukum langit, keputusan yang di buat sang Kaisar pertama, hukum kerajaan agung yang kini hanya menjadi bahan candaan mereka, para pemilik suatu daerah, penguasa lalim yang terhormat.

Wahai langit, ku rindukan saat Long melintasi angkasa di antara awan awam yang bergerak perlahan, wahai angkasa, adakah se titik embun keadilan yang masih tersisa dari balik lembaran tebal kitab hukum dalam genggaman ku?

Wahai dunia, Eskalasi tanpa akhir, pertarungan tak seimbang tanpa henti, ku rindukan ketika keperkasaan pendekar di buktikan dalam sebuah pertarungan, banyaknya luka menjadi nilai, bilah tajam pedang dan belati menjadi satu satu nya saksi pemenang sejati, tanpa banyak kata yang harus terucap di balik sejuta kemunafikan dan dusta.

Hakim Lao - Keadilan yang retak
Serigala selatan - Kiwami Escalations.

Serigala SelatanHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin