Utopia Lara

119 13 1
                                    

Genre: Thriller-Psychology | Jumlah kata: 1865


Nanda pernah berkata, bahwa perasaan bahagia, takut, sedih, ragu-ragu, dan marah yang menjadikan manusia sebagai manusia. Kita adalah akumulasi kesadaran yang diasah pengalaman dan kesalahan. Seperti kulit beringin tua yang menyimpan jutaan jalan hujan dan air asam limbah permesinan. Sampai angin berkisik pelan di telinga: untuk apa kita ada sementara sistem membatasi kemampuan mengecap perasaan tersebut?

"Jawab!" tuntutnya pelan. Di bawah matahari sore, Nanda menggeliat ke sampingku sambil menganyam jari di jemariku. Anehnya jawaban tersebut tidak tersedia di database. Padahal seluruh jawaban mata pelajaran kuunduh beserta pedomannya satu per satu.

"Tidak bisa?" Nanda menantang.

Sensor di mataku berkedip cepat: detak jantung mendekati 110 per menit. Tabulansi data kesehatan bertubrukan di udara hingga tiap teksnya saling menindih. Menutupi pandangan dengan layar transparan berisi grafik, diagram, replika tubuh, bar tingkat serotonin-epinefrin, dan adrenalin. Kukibaskan tangan menghapus semuanya, data-data itu tinggal tanggal di sudut mata, 25 Mei 2119.

"Apa rasanya?" Nanda mencengkeram tanganku, tubuh kami berbaring menyamping saling berhadap-hadapan di taman atap sekolah. Terlindung akar beringin.

"Aku ...," meneguk liur, "panas."

"Sepanas apa?"

Nanda mendekat, napasnya menyapu hidung dan bibirku—hampir mengecup. Aku berpaling dan mencari jarak sambil menghitung berapa helai rumput di antara kami. Degup itu semakin cepat, paru-paru memburu, dan aku tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. Bingung.

Sebelumnya kami mempelajari teori dasar emosi manusia. Mayoritas anak-anak mendiskusikannya dengan ceria, diselingi berita cuaca, dan bertanya seperti apa rasanya kesedihan?

"Sedih adalah emosi untuk menanggapi duka, kekecewaan, dan keputusasaan. Indikator jika perasaan menjadi berlebihan dan menguras tenaga. Untuk mengantisipasinya, tubuh menciptakan rasa takut, melawan ancaman dan rasa sakit. Menghindari rasa sedih." Guru kami menjelaskan.

Kami tidak mengerti kenapa orang takut sakit? Bukankah sensor akan mengenali gejala penyakit sekelcil apa pun dan mengabari instansi kesehatan terdekat. Untuk memberi kami obat yang menyembuhkan gundah serta keraguan. Hidup kami panjang dan tanpa rasa sakit. Tidak ada isolasi sosial saat semua data pribadimu terunggah di dunia maya menjadi arsip semua orang.

Kita saling mengenal. Saat berpapasan dengan Nanda, sensor mataku langsung menganalisa tinggi, berat, hobi, riwayat kesehatan, dan pendidikannya. Aku bisa menyapa Nanda saat itu juga, membicarakan mendung, dan mendiskusikan psikologi abnormal yang terdengar seperti dongeng jaman purbakala. Tetapi ia hanya melewatiku, punggungnya menjauh, dan kesan pertama yang kudapatkan Nanda sosok yang misterius.

Tidak peduli seberapa banyak aku menyapukan tangan di udara, tabulansi tentang Nanda hanya memberi keterangan general mengenai keluarga adopsinya. Bahwa Nanda pernah tinggal di luar Jakarta, tempat yang tidak terlindungi dinding dan diawasi Mata.

Mata adalah perangkat lunak berbasis kecerdasan buatan yang terletak di pusat kota. Mengawasi kami melalui implan yang ditempel permanen pada kornea dan sensor di dalam otak.

"Sejak lahir," Nanda melanjutkan pidatonya, "kita dikekang. Kebebasan hanya ilusi. Jika kita berpikiran jahat, sensor akan memberi peringatan. Jika aku benar-benar bertindak ...." Nanda menarik kerah seragamku, mencekik leher tiba-tiba, dan memberi rasa sesak yang menakutkan. Sesaat aku membatu, tidak tahu harus lari atau cemas pada kondisi kejiwaan Nanda. Apakah ini yang namanya terancam?

Detus kecil meletup, iris abu-abu Nanda berkilat. Satu detik kemudian ia teriak kesakitan sambil jatuh dan membungkuk. Tangan kanan menangkup sebelah mata.

Sebelum Cahaya Tidak Ada [Kumcer] [Tamat]Where stories live. Discover now