Di Bawah Langit

521 62 7
                                    

Genre: Sci-fi | Jumlah kata: 2972 | created at 19th November 2018


Aku merangkak dalam lorong baja yang sempit dan lembab. Meraba dinginnya permukaan logam, bau karat, serta pahit di lidah. Udara terasa sangat asin untuk dihirup. Dalam keremangan, aku mendengar bunyi gesek lain di belakang. Sontak aku menoleh dan memperingatkan mereka dengan kode telunjuk di depan bibir.

"Kalian mau dibunuh?"

Dua remaja di belakangku mengkerut, mereka segera menunduk dan menggumamkan maaf yang tak terdengar. Kami melanjutkan lagi perjalanan, berusaha sesunyi dan secepat yang kami bisa untuk berburu makanan.

Warna gelap berpendar kuning terlihat. Jalan keluar. Segera aku memerintah mereka untuk berhenti dan menunggu. Kedua remaja itu menurut. Aku maju melihat keadaan dan mengintip sekilas: aman. Tidak ada tanda-tanda para pemusnah dan robot rakitan. Mata pengawas ada jauh di timur laut, terpancang di satu tiang besi tinggi asimetris. Sebuah bola kecil bercahaya biru yang menjadi titik awal semua orang terbunuh.

Cukup mudah melewatinya. Tapi tetap, kami tidak boleh gegabah. Jadi kuputuskan untuk maju satu per satu. Aku pertama. Aku melompat keluar dan menolak tubuh bersembunyi di balik reruntuhan mesin mati. Memperhatikan sekitar, kemudian berlari kecil ke satu bayangan gelap yang penuh ronsokan dan masuk ke dalam lobang ventilasi lain.

Mudah. Seharusnya mereka bisa. Remaja pertama, seorang laki-laki kikuk yang baru bergabung seminggu lalu memulai duluan. Ia menunggu aba-abaku. Kuperhatikan mata pengawas berputar, saat yakin pandangannya tidak terarah ke sini. Aku segera melambaikan tangan dan menyuruhnya cepat kemari.

Laki-laki itu berlari canggung ke balik reruntuhan mesin. Menggenggam tali ranselnya kuat-kuat. Menarik napas banyak-banyak sebelum berlari dan melompat keras ke dalam ventilasi buangan.

Tapak kakinya menciptakan bunyi bergema. Kami panik dan langsung mendiamkan diri sesaat, menunggu respon bahaya. Satu detik, gema menghilang. Dua detik, tidak ada tanda-tanda. Tiga detik, jantungku mulai berdetak normal. Detik berikutnya, aku menjitak kepala remaja tersebut dan memakinya dalam diam: jangan ulangi lagi!

Selagi remaja itu mengelus kepala, aku menyuruh remaja perempuan satunya untuk bergegas. Ia lebih tenang dibanding yang laki-laki. Sudah ikut bersamaku lebih dari yang bisa kuingat—dua minggu atau sepuluh hari.

Mudah baginya menyeberang. Setelah kami berkumpul, aku langsung merangkak kembali dan menggerayang keheningan. Entah sudah berapa lama, ada satu-dua pertigaan yang harus dipilih cepat-cepat. Tujuan kami ke timur. Jadi semua pilihan harus mengarah ke sana—berdasarkan kompas usang yang sudah mulai tersedak umur.

Aku menutup penunjuk arah tersebut dan turun ke satu ruang selebar dua meter di bawah. Membantu turun kedua remaja tadi secara hati-hati. Setelah mendarat, kami membagi tugas jaga dengan aku di depan, si perempuan di belakang, dan laki-laki pembawa barang di tengah. Kami pun berjalan menyusuri koridor remang yang dindingnya dilapisi pipa uap panas dan kabel listrik. Udara terasa lembab dan hangat. Suasana di sini tidak kalah muram dibandingkan atas: penuh sampah mesin dan pecahan semen.

Hanya beberapa neon yang menyala. Menerangi jalan kami ke depan sembari siap siaga jikalau ada ancaman menghadang.

"Di mana kita?" si laki-laki bertanya.

"Entahlah, mungkin antara lantai 800 dan 850."

"Masih jauh dari permukaan." Si perempuan menambahkan. Kedua matanya tetap awas dengan senjata siap memuntahkan peluru. Sejujurnya, benda itu tidak akan efektif membunuh para mesin kecuali ia tepat menembak di aktuatornya.

Sebelum Cahaya Tidak Ada [Kumcer] [Tamat]Where stories live. Discover now