Mendamba Cahaya

967 110 13
                                    

Genre: Angst-Tragedy | Jumlah kata: 1362


Kedua kalinya sudah, wanita itu terdampar di pinggir jalan. Di bawah lampu yang menyorot remang, dan sebatang sigaret putih di tangan. Ia merenung di depan toko yang baru saja dimasukinya demi sekaleng stoud dingin yang hanya tergenggam begitu saja di tangan satunya.

Duduk, ia merasakan hawa angin membelai tengkuknya. Menyejukkan, sekaligus membawanya pada kenangan-kenangan pahit yang baru saja disesap di kafe tua pinggir kota. Sebuah kenangan yang hanya sepersekian detik, untuk kemudian mati seperti laron yang terbang mendekati matahari.

Terbakar. Berubah menjadi abu. Lantas dihempas angin dan menghilang selamanya.

Lipstik merahnya masih membekas di sigaret yang diisapnya malas tersebut. Lipstik yang mulai pudar, bersama rambut kusut masai bekas pergumulan panas di sela-sela sempit antar bangunan.

"Kau mencintaiku kan, sayang?" tanya wanita itu, kedua mata sendunya seolah akan mati bila dijawab tidak.

"Iya," jawab lelaki tersebut sekadarnya. Buru-buru merogoh isi bra dan rok mini ketatnya. Tak sampai beberapa menit keduanya melepas nafsu di jalanan, si lelaki mendadak ditelepon dan lenyap begitu saja seolah dikejar setan.

"Ini bayaranmu," ucapnya, sekenanya, tak memiliki arti ataupun perasaan sedikit pun di dalamnya. Kembali wanita itu terhentak, bahwa ia hanya pemuas birahi yang mencari makan dengan menjual selangkangan. Menjual kenikmatan sesaat. Sebelum lenyap, dan meninggalkannya seperti laron yang kehilangan kedua sayapnya.

Di antara uang-uang kertas tersebut, wanita itu seperti melihat masa lalunya. Masa yang begitu manis dan penuh kepolosan. Masa dimana ia hanya tahu bahwa langit itu biru, awan itu putih, dan matahari adalah penyinar semesta.

Masa sebelum kedua orang tuanya resmi bercerai di persidangan. Dibuang sang ibu, lantas ditelantarkan dengan sang Ayah yang hobi mabuk-mabukan. Ia adalah aib untuk kedua belah pihak keluarga. Tak ada yang mau memperjuangkan hak-haknya, apalagi ketika sang Ayah menyeretnya ke gang sempit tempat sekumpulan penjudi mabuk sedang sibuk teler. Dijual, demi membayar hutang dan dijadikan pembantu di rumah seorang majikan kaya dengan om-om genit. Beruntung ia tidak kehilangan apapun karena usianya masih sangat muda kala itu.

Tetapi gadis itu tangguh. Berusaha menyelamatkan sendiri hidupnya dengan mencari pekerjaan halal di rumah makan, rumah sakit, atau kios penjual pulsa. Bertahun-tahun berjuang, ia selalu dipepet kebutuhan hidup sendiri. Ayahnya bahkan ditemukan meninggal dengan perut terburai di pinggir kali. Busuk, dan tidak ada yang peduli.

Beranjak dewasa, gadis itu tahu bahwa berkerja saja tidak cukup untuk memenuhi perut, make up, dan isi kontrakan. Ia butuh lebih, sesuatu yang mampu memberinya bayaran mahal agar ia dapat berlibur sehari-dua hari demi merilekskan otot-ototnya yang bertahun-tahun tegang karena berkerja keras.

Saat itulah seorang temannya menawarkan untuk berkerja di kafe remang-remang. Tidak usah menjual diri, cukup berpakaian cantik dan layani para lelaki sampai birahi. Sisanya, adalah urusan mereka yang sudah siap di belakang.

Wanita itu meneguk liur, ia tergiur, tetapi berkerja di tempat demikian bisa membuatnya terjerumus dalam kawah dosa. Ia berjanji akan menjaga tubuhnya, hatinya, cintanya, untuk seorang lelaki beruntung yang pantas dinikahinya kemudian hari.

Sebuah impian masa kecil yang masih digenggamnya sejak langit di atas kepalanya berwarna-warni, sampai yang kelam dan penuh kelabu asap polusi dan rokok di kafe.

Iya, dia menerima pekerjaan tersebut. Pekerjaan yang sempat membuatnya memekik ketika ada yang sengaja meremas bokong atau payudaranya. Tetapi lambat laun, ia berusaha tidak merasa dan menganggap itu semua sebagai resiko pekerjaan. Toh, mereka tak menyentuh lebih dari itu.

Sebelum Cahaya Tidak Ada [Kumcer] [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang