Sebelum Mengakhiri Selamanya

730 92 16
                                    

Genre: Another Slice of Shit | Jumlah kata: 1773


Aku kembali terpenjara dalam dunia yang hitam dan gelap. Berkali-kali aku lari dan mencoba keluar dari dunia aneh ini, kedua kakiku tetap saja bertumpu di tempat awalnya berdiri. Seolah, waktu dan tempat di sini terhenti. Seolah, aku berdiri di detik dan kejadian yang sama untuk selamanya.

Kutukan macam apa ini?

Awalnya, aku terjebak dalam rutinitas yang sama. Bangun pagi, kuliah, belajar, diselingi kegiatan bersosialisasi, makan, jajan, pulang, mandi dan, tidur. Hari-hari terlewati dalam dinamika statis yang tak pelak, membuatku bosan tak berkesudahan. Seolah aku dipenjara dalam hari dan kegiatan yang sama. Yang begitu-begitu saja.

Senin, Selasa, Jumat, Minggu, semua sama dan tak memberi warna berbeda kecuali tanggal merah dan libur dadakan karena dosen tiba-tiba raib entah ke mana. Hari-hari kosong demikian hanya kugunakan tidur dan mempercepat hidup berjam-jam ke depan.

"Cobalah melakukan sesuatu yang baru." Seorang temanku memberi saran, setelah muak melihat wajah datarku setiap hari dan kujelaskan sebabnya kenapa.

"Nilaimu standar, wajahmu biasa-biasa saja, apalagi hidupmu ... manusia macam apa kamu ini?"

"Yang begini."

"Kalau kulihat, kamu cuma kehilangan makna hidup."

"Ya."

"Cobalah pergi ke tempat yang tidak pernah kau kunjungi."

"Malas."

"Nah, ini nih masalahnya. Malas itu musuh utama kebahagiaan. Mana bisa senang kalau mencari kesenangan aja malas."

"Terus, aku harus pergi gitu?"

"Iya. Mau kutemenin?"

"Gak usah. Bisa sendiri."

Aku berjalan menjauhi kerumunan dan kebisingan kelas. Sengaja mengambil satu kursi dan mendudukinya di sudut ruangan. Menyumpal telinga dengan earphone, dan membiarkan suara Taka meraung-raung diikuti teriakan barisan Helena juga lain-lainnya.

Aku bosan.

Meski kabur sekali pun, semua tetap tak berubah dan aku masih berdiri sebagai manusia yang tak memaknai apa pun. Kiranya, nyawaku sudah lenyap di usia muda. Tinggal menunggu jasad tuaku dikubur kemudian.

Orang bilang, aku hanya butuh teman cerita. Teman untuk menumpahkan semua kegundahan dan masalah di dalam dada. Tetapi aku jawab, aku tidak butuh. Selain manusia adalah sarangnya semua dosa dan ketidapercayaan, aku tidak bisa menjelaskan kegundahanku pada siapa saja. Bahkan orang tuaku sekalipun.

Siapa yang bisa tahan serumah dengan orang tua yang berasal dari generasi lalu? Yang pikirannya masih kolot dan terjebak pada era keemasannya sendiri. Mereka menolak kemajuan jaman. Memilih televisi berbadan gendut dan lampu minyak kala mati listrik.

Bagi mereka, jurusan kuliah harus sepasti prospek pekerjaannya ke depan. Mereka tak sadar, bahwa minat dan bakat bisa dipadukan dalam keinginan mencapai masa depan. Lewat perjuangan dari jurusan dan universitas pilihan.

Tidak. Mereka bilang.

Jaman sekarang keras, kejam dan membingungkan. Mereka hanya mengerti bahwa polisi itu tugasnya menjaga masyarakat, dan dokter adalah tukang menyembuhkan orang yang tak sehat. Mereka tidak mengerti pekerjaan designer yang hanya menggambar-gambar abstrak di atas kertas, juga arsitek yang mahal selangit padahal lulusnya cuma merancang bangunan di atas karton. Mereka tak mengerti apa kehebatan orang-orang yang berkerja di gedung tinggi, saban hari di depan layar komputer, mengetik, menelpon, sok sibuk. Apakah dengan duduk mereka bisa mengubah dunia?

Sebelum Cahaya Tidak Ada [Kumcer] [Tamat]Where stories live. Discover now