Peri Mimpi

477 59 7
                                    

Genre: Thriller-Psychology | Jumlah kata: 1530


Ada yang mencuri mimpiku tadi malam. Aku ingat, aku tengah bermimpi tentang sebuah dunia dengan gadis berkaki payung dan pria berkepala mesin ketik. Melangkahkan kaki di atas jalan setapak yang terbuat dari batu kerikil berwarna merah. Kedua orang—atau benda berjalan—aneh itu mengapitku sambil menerangkan benda-benda di sekitar.

"Itu lidah buaya, mereka senang menangkap lalat permen yang malang." Pria berkepala mesin ketik itu menunjukiku lidah-lidah panjang berwarna merah muda yang tengah menggulung dan tegang berdiri.

"Dan itu pohon mata, mereka senang mengamati apa saja dan kapan saja." Gadis berkaki payung itu melompat-lompat dengan teratur di atas ganggang payungnya. Menunjukiku sebentuk pohon kurus dengan buah-buah bulat serupa anggur. Berkedip-kedip lalu melotot ke arahku.

"Aku di mana?" tanyaku. Suara yang keluar terasa berat dan samar seperti berbicara di dalam air.

"Di pikiranmu."

Lantas, sebelum mencapai ujung jalan setelah melewati semak-semak tangan dan parade manekin siam telanjang, aku terbangun. Langsung duduk dan pusing akibat sadar secara kasar.

Saat itulah kulihat seorang anak kecil bersayap sedang membuka sebuah toples dan memasukkan benda berkilau dari dalam tangannya. Menjatuhkan pasir-pasir bercahaya ke dalam toples yang sudah terisi setengah.

"Satu mimpi untuk satu inspirasi.

Kujual pada pembuat seni.

Satu kewarasan untuk satu genggam.

Demi setumpuk ide pengalir uang."

Gadis itu bernyayi dengan riang. Tak tahu bahwa aku mengamatinya sedari tadi dengan tubuh kaku. Aku tidak bisa bergerak. Sama sekali. Kaki-tangaku benar-benar mematung dengan sempurna. Hanya kedua mata dan pikiranku yang masih bisa bergerak-gerak saat ini.

Beberapa detik kemudian, toples itu telah tertutup. Anak kecil itu terbang santai menuju jendela yang tertutup. Menyentuh kaca, tangan kanannya tenggelam seperti tercelup pada genangan dingin bekas hujan semalam.

Dari tangan, bahu, badan, leher, kepala, kaki kanan, kiri, dan tangan kiri. Beberapa saat sebelum seluruh tubuhnya lenyap, aku berhasil melepas belenggu yang membuatku bungkam. Langsung beranjak dari tempat tidur dan menarik gaun hitam terakhirnya di balik kaca.

Gaun itu serapuh kertas terbakar. Di balik tanganku, hanya ada secarik kain bermotif malam dengan bintang-bintang gemerlapnya. Seolah aku baru menarik langit dari atas. Kutatap pemandangan dari balik jendela. Lalu ke halaman belakang. Semua masih sama. Mulai dari pohon, ayunan, semak-semak, dan rumput. Mungkin aku hanya bermimpi. Mungkin tadi hanya ilusi.

Sampai kemudian di koran minggu, kutemukan cerpen berjudul "Dunia Fantasi Aya", di sana ada wanita berkaki payung dan pria berkepala mesin ketik. Lengkap dengan lidah buaya hidup dan pohon berbuah mata. Aku benar-benar terperangah. Kopiku tidak jadi kutelan pagi itu. Entah ini cuma kebetulan atau bukan, kuletakkan kembali koran tersebut di atas meja. Lengkap dengan tumpahan gundah dan pikiran yang jatuh bersama gerimis di luar.

Kembali, halaman belakangku basah. Mungkin cucian minggu ini tidak bisa kejemur di luar. Menatapi rintik-rintiknya di balik kaca jendela. Kadang aku masih penasaran, apa benar mimpiku dijual demi inspirasi sebuah cerita?

Kulihat seorang wanita berdiri di tengah jalan. Ia memeluk sebuah boneka. Basah karena hujan. Kepalanya terus tertadah seolah menanti sesuatu dari langit. Sesaat kemudian seorang pria datang. Ia mengamit bahu wanita tersebut dan membawanya ke dalam teduhan payung.

Sebelum Cahaya Tidak Ada [Kumcer] [Tamat]Where stories live. Discover now