5 : Senyuman Terakhir.

44 14 2
                                    

Play : Rossa - Jangan Hilangkan Dia.

Malam sebelum kami melaksanakan operasi, aku mengajak Alea menuju kamar ku untuk melihat benda-benda astronomi lewat teleskop pribadi ku. "Maaf ya, gara-gara aku pingsan waktu itu malah berdampak juga ke kamu" lirih Alea. Ku usap rambutnya dan menghela nafas, aku menggelengkan kepala ku. "Ini bukan salah kamu, ini karena akunya yang kecapekan. Jangan salahin diri kamu sendiri, ya?" elakku.

Aku beranjak dari tempat tidurku dan mengatur posisi teleskop ku ke arah langit. Aku menoleh ke arah Alea dan melambaikan tangan ku. "Sini!" ajakku. Alea menghampiri ku dan kemudian mengambil alih teleskop itu untuk ia lihat. Meskipun matanya tertutup oleh teleskop itu, namun bibirnya tak dapat berbohong. Ia tersenyum manis, ia terlihat berbahagia.

"Kok kamu bisa dapet teleskop ini? Aku suka!"

"Ini teleskop pribadi aku, Mikey tadi siang yang bawain ini"

Setelah Alea puas melihat benda-benda astronomi, aku pun menarik tali kanan earphone nya dan memasangkan earphone tersebut ditelingaku. "Hm? Lagunya Rossa?" Alea lalu bersandar dibahu ku dan menatap cahaya-cahaya dari jalanan dan gedung-gedung diluar sana. Alea berkata, "Sebenernya lagu ini khusus buat kamu, aku jadi gak perlu jelasin lagi perasaan ku ke kamu".

"Cakra..."

"Iya?"

"Kalo aku meninggal duluan, kamu bisa gak hidup tanpa aku?"

"Enggak, aku gak bisa. Daripada gitu, kenapa kita ga meninggal sama-sama aja, Lea?"

Alea menoleh ke arahku dan mengusap pipiku. "Gak boleh, kamu harus tetep di dunia ini. Yang lebih pantes buat hidup itu kamu, bukan aku" ujarnya. Aku pun mengangkat dagunya dan menatap mata indahnya tersebut. Aku berkata, "Semua orang itu pantes buat hidup, Lea. Kenapa kamu mikir negatif gini?" Ia terdiam sejenak dan menghela nafasnya.

"Kalo operasi ku gagal gimana? Operasi gak bisa ngejamin aku sembuh"

"Dan kamu juga bukan Tuhan yang bisa bikin mindset kayak gitu,"

Ku raih tubuh Alea dan memeluknya, suhu tubuh kami kini sama-sama terasa dingin. Kami berdua sadar bahwa kondisi kami semakin hari semakin buruk, namun kami berusaha untuk tidak memikirkan hal itu. Aku berbisik ditelinganya, "Aku yakin umur kamu bakalan panjang".

Setelah meredakan emosinya, kami pun duduk berdampingan di tempat tidurku dan melihat ke arah jendela. "Dulu aku pernah denger cerita dari Bunda ku, katanya kalo orang meninggal tu jiwanya bakalan jadi bintang" ujarku. "Dan kalo bintang itu sinarnya paling terang di antara bintang lain, maka dia seolah-olah ngasih isyarat bahwa dia baik-baik aja" lanjutku.

Alea masih terdiam, ia menunggu ucapanku selanjutnya. "Segelap-gelapnya langit malam, bintang itu punya janji untuk terus bersinar agar langit malam gak kesepian, meskipun dia sadar kalo cahaya nya gak seterang bulan" kata ku. Alea kemudian berkata, "Dan aku berharap, suatu saat nanti bintang kita sama-sama berdampingan biar cahayanya gak redup,".

Aku pun menatap Alea dan mengusap pipinya, sejujurnya aku tidak ingin meninggalkannya. Aku ingin hidup dan menua bersama, aku tidak ingin berpisah. Namun, saat ini aku dihadapi dengan dua pilihan. Mati bersama atau membiarkan salah satu dari kami tetap hidup. Dan ku rasa, Alea lebih pantas hidup. Aku benci ditinggalkan, maka dari itu aku lebih memilih untuk meninggalkan orang-orang saja.

Perlahan, wajahku mendekatinya. Ku kecup dalam di dahinya, seolah-olah ini menjadi salam perpisahan ku. Aku tidak munafik, sejujurnya aku ingin mencium bibirnya juga. Namun aku mengurungkan niatku karena aku tidak ingin ciuman itu menjadi bekas pahit dalam hidupnya.

"Malem ini mau tidur disini? Aku gak akan macem-macem, aku cuman pengen meluk kamu" ajakku. Ekspresi wajah Alea terlihat sedikit terkejut, namun dengan cepat ia mengaturnya. Ia berkata, "Tapi nanti suster yang dateng buat cek gimana?" Aku tersenyum simpul ke arahnya seolah-olah semua akan baik-baik saja. "Percaya sama aku, mereka gak akan ngapa-ngapain" timpalku.

[✓] Bunga Terakhir ¦¦ Sano Shinichiro.Onde histórias criam vida. Descubra agora