BAB 01

8 2 0
                                    

Tit!... Tit!...

Suara jam weker membangunkanku seperti biasa. Ku buka mataku dan menatap kosong langit-langit selama beberapa saat sebelum ku matikan jam weker itu dan pergi mandi.

Setelah mandi dan berseragam, aku pergi ke dapur memasak mie instan untuk sarapan. Dengan suara khas pagi menemaniku yang mungkin menenangkan yang entah kenapa tidak bagiku.

Setelahnya aku pergi ke sekolah seperti biasa seperti orang lain.., atau mungkin tidak. Di jalan ku lihat gedung-gedung dan kerumunan di sekitar, dan aku tak merasakan apa-apa.

Kemudian dari kejauhan tampak seorang wanita terjatuh pingsan dan tergeletak di tengah kerumunan tetapi tak seorangpun menghiraukannya. Mereka tetap berjalan melanjutkan harinya seolah tak ada yang terjadi.

Kenapa orang-orang mengacuhkannya?

Apakah hidup seseorang itu tak berharga?

Berada di antara mereka dan berpikir apakah mereka berkesadaran? Ataukah mereka hanya sekumpulan robot yang diprogram hanya untuk melakukan suatu hal dan tidak yang lainnya? Seperti zombie yang "hidup" dan bergerak namun tak berkesadaran dan hanya digerakkan oleh nafsu.

Kenapa mereka diam saja?

Apa itu berarti aku pun harus begitu?

Begitu menyesakkannya berada dan bernafas di tempat yang sama bersama mereka.

Apakah aku harus membantunya meski yang lainnya tidak?

Kemudian aku mengambil ponsel dari sakuku dan memanggil nomor darurat, dan meminta ambulans datang. Selagi menunggu aku memutuskan untuk memindahkannya ke tempat yang aman.

Ketika ambulans tiba, dua orang paramedis segera memasukkannya ke dalam ambulans, dan aku yang berniat melanjutkan hariku dihentikan oleh salah seorang paramedis, aku diminta untuk menemani wanita ini di rumah sakit sampai keluarganya datang, aku pun masuk tanpa mengatakan apa-apa.

Aku terduduk di sana, di ruang tunggu, hanya duduk menunggu tanpa melakukan hal lain.

Inikah alasannya kenapa orang-orang hanya membiarkan? Karena ini merepotkan dan tidak menguntungkan. Khususnya bagi mereka yang bekerja, pasti mereka akan dimarahi oleh atasannya, dan atasannya akan berkata, "Biarkan saja! Nanti juga akan ada yang menolongnya!". 

Nampaknya itu masuk akal.

Siapa yang rela melakukan sesuatu yang tak menguntungkan dan hanya memberikan masalah pada diri mereka?

Akan tetapi bagaimana jika hal tersebut terjadi kepada semua orang. Akankah mereka membiarkannya sampai ia mati di sana?

Lantas apakah membiarkannya tergeletak di sana benar tuk dilakukan?

Arrgh!

Memikirkannya membuatku pusing. Aku ingin minum.


Entah berapa lama aku di sini menunggunya. Sekarang sudah siang dan belum ada yang menjenguknya dan belum ada tanda-tanda keluarganya akan datang membuatku bertanya-tanya, apa dia tak mempunyai keluarga atau semacamnya?

Kemudian seorang suster mendatangiku. Ia mengabari bahwa wanita itu sudah siuman dan dia ingin menemuiku. "Baik" jawabku lalu segera mengikutinya ke ruangan wanita itu dirawat.

"Terimakasih!" Katanya menyambutku yang baru saja membuka gorden membuatku terkejut dan terdiam beberapa saat sebelum menundukkan kepalaku.

"Ya?" Kataku dengan suara rendah.

"... Aku juga minta maaf. Aku sudah mengganggu dan menghancurkan harimu. Aku sungguh minta maaf". Katanya. "Maaf, aku tidak bisa membalasnya selain dengan meminta maaf dan berterima kasih".

Kenapa dia bicara banyak? Dan kenapa dia terus menerus meminta maaf? Apa dia melakukan hal yang buruk padaku?

"..." Aku ingin mengatakan sesuatu tetapi suaraku tak mau keluar.

"Hmmm…?" Dia memiringkan kepalanya dan melihatku sembari memasang ekspresi kebingungan.

"Ba-baik" suaranya merendah seperti kehilangan ketertarikan.

"Oh iya! Namaku Anna" Katanya mengenalkan dirinya. "Boleh beritahu namamu, enggak?" Tanyanya, ia terlihat begitu tertarik.


"Kalau boleh tahu, kenapa kamu terus menunduk dari tadi. Apakah kamu sedang tidak baik baik saja?" Tanyanya dengan suara lembut dan penuh kasih.

"Engg–” Belum selesai aku menjawab tiba-tiba ia menarikku ke dalam pelukannya. Kurasakan tubuhnya yang begitu panas membuatku berpikir, sepertinya dia tengah demam. Lalu beberapa kali ia mengelus kepalaku dengan lembut.

"Gimana?" Tanyanya. "Apa kamu merasa lebih baik?".

"Entahlah" jawabku dengan suara rendah yang terasa suram.

"Terima kasih," Ucapnya. "Ku harap semuanya baik-baik saja" empati

Di terus memelukku selama beberapa saat. Sebuah pelukan penuh kasih layaknya seorang ibu pada anaknya, seorang pengasuh pada anak asuhnya, atau majikan pada anjing kesayangannya.

"Terima kasih sudah membiarkanku memelukmu". Katanya. "Sekarang aku merasa lebih baik, dan ku harap kamu pun sama. Aku senang kamu enggak merasa canggung atau semacamnya" Katanya sambil tersenyum simpul, lalu sekali lagi ia berterima kasih padaku karena telah menolongnya.

"I-iya".

Kemudian dia bertanya di mana aku bersekolah dan ketika ku jawab, dia mengatakan bahwa adik perempuannya sekolah di tempat yang sama denganku.

Setelah itu aku permisi pergi ke toilet dan sekembalinya dari sana aku mendapati seorang gadis yang familiar berbicara dengan wanita itu. Aku berasumsi gadis itu adalah adiknya yang tadi ia ceritakan. Karena keluarganya sudah ada, aku pikir keberadaanku sudah tidak diperlukan dan segera pulang.

Silent Where stories live. Discover now