BAB 03

5 2 0
                                    

Pagi itu aku terbangun oleh suara alarm jam weker. Tanpa mematikannya terlebih dahulu, aku menatap langit-langit kamarku dengan tatapan kosong dan menyadari semalam aku menangis sampai tertidur. Berapa lama aku menangis, batinku.

Kemudian ingatan tentang kejadian semalam terputar dalam kepalaku, khususnya saat dia menyuruhku makan malam bersamanya setiap hari. Teringat hal tersebut membuatku merasa kesal, senang, dan sedih secara bersamaan.., atau mungkin bukan ketiganya.

Lalu ku matikan alarm yang telah mengganggu tidurku dan bersiap untuk berangkat ke sekolah.


Hawa dingin dan udara segar khas pagi menyambut tubuhku yang baru keluar dari rumah, kicauan burung melantunkan irama alam.

Pagi yang sibuk, batinku ketika melihat orang-orang berangkat kerja. Tampak kebosanan dan kemuakan dari wajah mereka yang beberapa atau mungkin banyak dari mereka yang kantung matanya hitam. Jalan mereka sedikit bungkuk seolah membawa sesuatu di punggungnya, mereka nampak seperti zombie di film-film Hollywood.

Kutukan sisifus.

Para siswa sekolahan yang berangkat bersama temannya berbincang dan bercanda ria seolah tak ada beban. Sementara yang lain matanya terpaku pada bukunya meski tengah berjalan seolah mereka memiliki mata ketiga, terpancar dari wajah mereka ambisi serta ketakutan yang telah bercampur hingga tak dapat dibedakan.

Ada pula orang yang kepalanya tertunduk serta matanya tertancap pada layar smartphone mereka entah itu karena kesibukan atau hanya sekedar kecanduan.

Setibanya di gerbang sekolah secara tak sengaja aku bertatapan dengan Arina. Mata besar dan pupil coklatnya mungkin tampak indah tuk sepersekian detik sebelum itu menatap dingin dan wajahnya yang seketika datar mengeras, aku bisa merasakan hawa kebenciannya dan itu membuatku mematung seperti menatap Medusa. Dia terus menatapku membuatku ketakutan dan ingin lari menjauh, tapi tak bisa, tubuhku telah mematung oleh tatapannya.

Segera ku tundukkan kepalaku, dan beruntung, temannya mengajaknya bicara setelah melihat Arina dan padaku sekilas, dia sepertinya merasa ada hal aneh antara kami berdua, karena sebelumnya dia tak pernah peduli akan keberadaanku.


Ketika bel istirahat berbunyi aku segera keluar kelas ke suatu tempat yang bahkan tak ku ketahui. Aku hanya membiarkan kaki ku melangkah ke segala arah.

Melewati lorong-lorong kelas dan melihat pemandangan orang-orang dengan kesibukannya yang memenuhi netraku begitu pula dengan kebisingannya yang seperti di jalan ataupun dipasar. Bercanda atau sekedar berbincang sembari makan, panik karena lupa mengerjakan tugas, bermesraan di tempat ramai dan ada pula ditempat yang sepi, dan juga beberapa penindasan yang tak dihiraukan oleh sekitar, mereka terlalu sibuk dengan urusannya ataukah memang karena hidup di dunia yang sepenuhnya berbeda?


Bel pulang sekolah berbunyi, terdengar oleh seluruh penjuru area sekolah bahkan lebih. Seisi kelas segera membereskan alat tulis mereka agar dapat melakukan kegiatan lainnya entah itu pulang, less, atau sekedar berkumpul dan bermain bersama teman. Begitupun aku, hanya saja aku tak punya kegiatan lain dan memutuskan untuk berjalan-jalan tanpa arah dan tujuan.

Matahari telah seperempat di barat, sinarnya berubah menjadi jingga yang hampir mirip seperti pagi terpantul di kaca-kaca toko di jalanan. Jalan mulai dipenuhi oleh mereka yang lelah menjalani hari, khususnya murid sekolahan yang pulang lebih awal dari mereka yang bekerja, jumlah mereka tampak lebih banyak dibanding yang lain.

Suara-suara renyah serta aroma khas penggorengan mulai terciu m di hampir seluruh kota, juga asap yang mengepul darinya yang semakin jelas tiap saatnya seolah mengundang orang-orang tuk membelinya. Toko-toko dan warung makan yang mulai dipenuhi oleh pembeli, masing-masing dari mereka berbincang dengan temannya dan membuat sebuah kebisingan tak keruan namun tak buruk.

Udara mulai mendingin tanda hari akan segera gelap. Pekerja kantoran kan segera pulang dan mampir ke warung makan dan berbincang dengan koleganya tuk menghilangkan penat setelah seharian bekerja dalam tekanan.

Perlahan hari mulai menggelap, langit malam mulai menampakkan dirinya entah apakah bintang pun akan ikut nampak. Cahaya-cahaya lampu dari segala arah yang didominasi oleh neon menghiasi gelapnya malam, pun bersama kepulan asap yang bagaikan kabut dan suara renyah penggorengan yang menggila.

Di sana aku terduduk, di sebuah tempat semacam taman yang di tengahnya terdapat kolam berbentuk lingkaran yang cukup besar dan di tengahnya terdapat pancuran juga lampu-lampu di sekelilingnya membuatnya tampak indah serta menjadi pemandangan indah bagi para pasangan kekasih bermesraan.

Aku di sana duduk berdiam diri menatap kosong ke depan, ke arah pancuran dan sesekali minum air dari botol yang beberapa saat lalu ku beli. Aku terus berdiam diri membiarkan waktu dan sekitarku berjalan. Entah berapa lama aku di sana tapi yang pasti hari sudah gelap dan angin malam berhembus pelan yang dingin seperti saat membuka kulkas.

Setelah sekian kali ku dengar dan ku cium suara renyah dan aroma dari penggorengan, akhirnya aku mulai tergoda tuk membelinya. Ku sodok kantong celanaku mencari adakah uang di sana lalu ku dapati beberapa koin yang pastinya tak cukup tuk membeli apapun. Aku pun menyerah dan memutuskan tuk pulang dan langsung tidur.

...

Silent Where stories live. Discover now