BAB 04

5 2 0
                                    

Aku duduk di sana, di tempat penonton dengan angin sepoi-sepoi yang datang sesekali seperti terpaksa bertiup. Aku menonton siswa kelasku bermain bola tanpa tertarik. Di lain sisi, beberapa siswi bermain badminton di lapangan lain yang tak jauh dari sini, sementara sisanya hanya sekedar berbincang.

Selepas kelas olahraga aku segera kembali ke kelas sementara anak lelaki masih di lapangan entah untuk sekedar beristirahat atau mungkin bermain lagi dengan kelas lain.

Dalam sepinya kelas aku duduk tanpa tahu apa yang harus ku lakukan ataupun ku pikirkan–aku hanya duduk. Kemudian Aria masuk seorang diri dan menghampiriku selepas mengambil kotak dari kolong mejanya, dan memberikannya padaku membuatku terheran dan sontak bertanya. "Apa itu?" Dan "Kenapa?"

"Ambil saja"

"Maaf, aku tak bisa menerimanya" tolak ku

"Persetan! Aku tak bertanya."Katanya " Pastikan kau mencucinya". Lalu pergi.

Aku terdiam menatapi bekal pemberiannya dan bertanya-tanya. Apa yang dipikirkannya. Tanpa sadar air mataku jatuh dan di saat yang sama murid lain masuk. Aku yang tak bisa menahan air mataku segera pergi ke toilet. Setibanya di sana aku segera mengunci pintu salah satu toilet dan mencoba menenangkan diri– Ku tutup mulut serta hidungku dengan kedua tanganku seperti hendak bersin dan kemudian bernafas. Meski sesak tetapi ini membuatku lebih tenang.

Ketika sudah lebih tenang aku segera keluar dari toilet dan membasahi kepalaku di wastafel agar lebih tenang. Tak lama bel masuk berbunyi. Aku pun segera ke kelas.

Setelah bel pulang sekolah berbunyi, di kala orang lain berberes aku masih terduduk memikirkan apa yang akan ku lakukan selanjutnya. Aku merasa seseorang menatapku dan saat aku menengok itu Aria yang lalu membuang muka dan keluar bersama temannya. Nampaknya dia menanyakan kotak makannya tetapi langsung sadar aku belum memakannya.

Aku terus duduk di kelas hingga tersisa mereka yang piket yang beranggotakan lima murid, tiga siswi dan dua siswa, dua siswi berambut panjang sepundak, satu berponi dan satunya belah dua, sementara satunya sepunggung dengan poni, dan tinggi ketiganya hampir sama sekitar 160 cm-163 cm dengan . Dan siswa, satu disisir ke kanan dan tinggi sekitar 167 cm, dan satunya disisir belah tengah agak mengembang dan nampak kenyal seperti jelly, dan tingginya mungkin 173.

Semua meja telah diatas meja diangkat oleh para petugas piket laki-laki dan sebagian oleh pemiliknya, dan mulai bersiap tuk menyapu kelas. Merasa tak enak, aku pun ikut membantu kecil-kecilan. Seusainya mereka segera pergi meninggalkan kelas sementara aku kembali duduk dan mengeluarkan kotak makan itu dari tas punggung hitamku dan meletakkannya di atas meja. Sejenak ku berpikir dimana aku harus memakannya, dirumah atau tempat lain. Dan kapan aku harus mengembalikannya, hari ini atau besok.

Kemudian ku buka dan mendapati bagian dalamnya yang berembun dan membasahi semua isinya yang isinya, nasi yang terlihat telah memadat, telur dadar gulung, beberapa lembar daun yang nampak layu, dan sosis goreng berbentuk gurita yang beberapa telah patah, yang semuanya ditata sedemikian rapi. Meski begitu tak mengurangi penampilannya, bahkan entah kenapa ini begitu tampak indah, terlebih ditambah sinar matahari di sore hari. Dan tentunya membuatku lapar.

Saat ku lahap sesuap nasi bersama telur dadar gulung, terasa oleh lidah serta dinding-dinding mulutku sensasi basah dari embun makanan tetapi tak serta merta mengubah rasa asin serta pedasnya merica dalam telur tersebut yang dalamnya sedikit meleleh karena tak matang, juga ku cicipi sepotong sosis goreng itu dan ku rasakan rasa sosis goreng biasa yang tak ada istimewanya sama seperti nasi serta telur dadar yang sebelumnya. Akan tetapi. Meski begitu— Meski semuanya terasa biasa saja tetapi entah kenapa ini semua terasa begitu nikmat dan membuat air mataku jatuh saat memakannya. Dan juga perasaan berdosa yang turut mengiringi membuatku kebingungan.

Aku senang sekaligus merasa berdosa. Aku menangis pada hal yang tak ku ketahui apa itu. Aku hanya membiarkan air mataku jatuh atau sebenarnya aku memang hanya tak dapat membendungnya?

Sehabis makan diriku lantas dipenuhi rasa berdosa dan aku dibuat ingin muntah seolah tubuhku ini tak bisa atau tak ingin menerima kebaikan darinya.

Lalu beberapa saat kemudian aku pergi ke toilet agar dapat segera ku kembalikan. Melewati keheningan lorong kelas yang dihiasi oleh suara-suara dari kegiatan klub-klub (ekskul) dan lalu lintas. Setibanya di sana aku menyalakan keran dan mulai mencuci kotak makan tersebut dengan sabun cuci tangan sebagai ganti dari sabun cuci piring.

Di saat yang sama pikiranku dipenuhi kebisingan tak keruan yang terus-menerus seolah  dan sesekali aku kembali ingin muntah.

Aku dalam perjalanan menuju rumahnya, dan ku lihat pemandangan sore hari yang persis seperti hari itu.

Setibanya aku di rumahnya langit sudah berwarna biru dongker yang bergradasi hitam tanpa hiasan selain putihnya awan yang mengabur, dan matahari sudah tak tampak. Ku ketuk pintunya beberapa kali dan sesekali mengatakan, "Permisi". Lalu ku dengar sebuah balasan, "Ya, tunggu sebentar", yang diikuti suara langkah kaki yang mendekat buru-buru. Lalu pintu dibuka dari dalam dan menampakkan Aria yang seketika berwajah datar dan menatap dingin sesaat setelah mengetahui itu aku. Aku ketakutan dan gugup.

"Apa maumu?"

"Maaf…" jawabku dengan suara pelan dan kepala menunduk dalam.

"Katakan apa maumu!" Tubuhku semakin kaku mengeras. Sementara di saat yang sama aku berusaha mengambil kotak bekal dari tasku yang kemudian ku berikan padanya. Dan berkata,

".., ma-af" Kataku dan lalu lari pergi menjauh.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 11, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Silent Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang